Ribuan orang yang menyambut kepulangan Habib Rizieq kemarin menimbulkan kerumunan yang lain, yaitu kerumunan para penentangnya di media sosial. Dengan berbagai argumen, mereka menghujat kerumunan yang riskan menimbulkan cluster baru virus covid 19 itu. Tapi, kalau kita mau berpikir sejenak, kita mungkin urung menyalahkan mereka, apalagi menghujat mereka layaknya pelaku kejahatan.
***
Kejadian berkerumun seperti itu,
terlebih di masa pandemi, bukanlah satu-satunya yang terjadi. Belum lama ini,
ada banyak orang yang berkerumun, berdemonstrasi, dan merespons pidato presiden
Perancis. Sebelumnya lagi, ada demonstrasi tolak Omnibuslaw yang terjadi di
berbagai daerah. Beberapa hari setelah tiba di Indonesia, HRS juga kemudian
menggelar pesta pernikahan yang dihadiri banyak orang. Dari setiap kejadian
itu, ada saja orang yang tidak setuju.
Yang menarik adalah, orang-orang
yang tidak setuju itu kemudian melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang hampir
serupa, “Itu orang mudeng nggak sih dengan yang dia lakukan?”, “Emangnya itu
orang udah memahami Perancis?”, “Itu orang-orang udah pada baca UU Omnibuslaw
atau belum sih?” Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya senada: menggugat
pemahaman atau rasionalitas orang atas tindakannya.
Pertanyaan itu menurut saya adalah
kegagalan kita memahami logika atas alasan orang-orang itu berkerumun. Setiap
orang memang mempunyai rasionalitasnya masing-masing atas tindakannya. Tapi,
orang tidak bergerak atas rasionalitas yang dimilikinya sendiri. Apalagi bergerak
menggunakan rasionalitas orang-orang yang menggugat tadi. Jelas tidak.
Menurut saya, pilihan rasional personal
orang dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Orang-orang itu berkerumun bukan
karena dia mudeng atau tidak mudeng dengan persoalannya. Ketika seseorang
berada di lingkaran orang-orang yang menyambut Habib Rizieq ke Bandara, dia
akan cenderung ikut kerumunan itu. Begitu juga untuk kasus kerumunan yang
mendemo kedutaan Perancis, atau demonstrasi yang menolak Omnibuslaw. Orang
bergerak atas dasar apa yang lazim dilakukan masyarakatnya.
Memangnya, sejak kapan orang
melakukan sesuatu karena rasionalitas yang dia bangun sendiri? Jarang sekali,
untuk tidak mengatakan tidak pernah. Tindakan seseorang dipengaruhi oleh
lingkungan di luar diri orang tersebut.
Orang bergerak karena masyarakat di
sekitarnya bergerak. Justru, kalau dia tidak ikut bergerak, maka dia yang akan
digolongkan sebagai penyimpang. Tindakannya dianggap sebagai penyimpangan
sosial di komunitas mayarakat tersebut.
Misalnya, seorang perempuan yang
menjadi satpam atau sopir bisa dianggap menyimpang atau aneh dalam masyarakat
yang mengenal bahwa profesi tersebut lazimnya dipegang oleh seorang laki-laki. Sebaliknya,
dalam masyarakat dimana pekerjaan sebagai sopir atau satpam tidak terkait
dengan jenis kelamin tertentu, fenomena tersebut jadi biasa saja.
Ini bukan soal baik dan buruk atau benar
dan salah. Dalam perspektif gender, fenomena tersebut disebut kesetaraan atau
emansipasi. Tapi logika yang berlaku di masyarakat yang pertama, itu
penyimpangan.
Bahkan, setiap tindakan manusia dibentuk
dan disosialisasikan secara terus menerus sejak kecil. Seseorang akan bertindak
sesuai dengan kelaziman masyarakatnya. Misalnya, seorang anak kecil yang
ngompol, sejak kecil dia digugat oleh orangtuanya. Sampai kemudian dia mudeng
bahwa ngompol itu tidak diterima oleh orang-orang di sekitarnya, anak itu akan
berusaha untuk tidak ngompol. Bahkan dalam kondisi bawah sadar pun dia akan
berupaya untuk tidak ngompol.
Begitu juga dengan sosialisasi
anak-anak soal menerima sesuatu menggunakan tangan kanan. Sejak kecil dia tidak
tahu tangan mana yang harus diulurkan untuk menerima sesuatu. Sampai kemudian
dia tahu hanya tangan kanan yang dianggap lazim oleh orang-orang sekitarnya,
maka dia akan menggunakan tangan itu ketika menerima sesuatu.
***
Dalam masyarakat yang sudah
terkoneksi satu sama lain seperti ini, apakah hal tersebut masih berlaku? Apakah
tindakan manusia masih dipengaruhi oleh orang lain? Jawabannya: tentu saja iya.
Bahkan masyarakat semakin terpolarisasi oleh media sosial. Dengan algoritma yang
berlaku di media sosial, tindakan seseorang semakin seragam dengan komunitas
digitalnya.
Dalam kasus kerumunan itu, tentu
saja permasalahannya bukan apakah dia mudeng atau tidak, juga bukan soal apakah
dia sudah membaca atau belum. Persoalannya adalah dia berada dalam lingkaran
komunitas yang seperti apa.
Informasi yang dibaca oleh
orang-orang yang turun menyambut Habib Rizieq itu berbeda dari informasi yang
dibaca para penggugatnya. Begitu juga soal kasus tim “demo Perancis” dan tim
tolak Omnibuslaw, narasi yang mereka terima soal Perancis dan Omnibuslaw tentu
berbeda dari narasi para penolaknya.
Dalam situasi seperti itu, di
lingkungan orang-orang yang turun menyambut Habib Rizieq ke bandara, justru
orang-orang yang tidak ke bandara lah yang menyimpang secara sosial. Begitu
juga di lingkungan—baik nyata maupun digital—yang tidak ikut menyambut
kedatangan Habib Rizieq, orang-orang yang ikut ke bandara akan dilihat sebagai
orang yang aneh, tidak rasional, tidak mudeng persoalan, dan satu lagi:
menyimpang!
Tapi, sekali lagi, ini bukan soal
baik dan buruk, atau benar dan salah. Ini soal bagaimana tindakan sosial
manusia itu tidak terlepas dari tindakan masyarakat yang berada di sekitarnya
dan narasi yang diterima oleh orang-orang tersebut.
Seandainya para penggugat itu
tinggal di lingkungan dan menerima narasi terus menerus yang sama dengan para
penyambut Habib Rizieq itu, apakah masih akan menggugat? Apakah manusia
se-tak-berdaya itu?
Terus, kalau seorang pejabat,
tinggal di lingkungan yang korup, apakah dia juga akan kesulitan untuk tidak
berbuat korup? Lho!