Monday 23 November 2020

Memahami Logika Kerumunan

Ribuan orang yang menyambut kepulangan Habib Rizieq kemarin menimbulkan kerumunan yang lain, yaitu kerumunan para penentangnya di media sosial. Dengan berbagai argumen, mereka menghujat kerumunan yang riskan menimbulkan cluster baru virus covid 19 itu. Tapi, kalau kita mau berpikir sejenak, kita mungkin urung menyalahkan mereka, apalagi menghujat mereka layaknya pelaku kejahatan.

***

Kejadian berkerumun seperti itu, terlebih di masa pandemi, bukanlah satu-satunya yang terjadi. Belum lama ini, ada banyak orang yang berkerumun, berdemonstrasi, dan merespons pidato presiden Perancis. Sebelumnya lagi, ada demonstrasi tolak Omnibuslaw yang terjadi di berbagai daerah. Beberapa hari setelah tiba di Indonesia, HRS juga kemudian menggelar pesta pernikahan yang dihadiri banyak orang. Dari setiap kejadian itu, ada saja orang yang tidak setuju.

Yang menarik adalah, orang-orang yang tidak setuju itu kemudian melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang hampir serupa, “Itu orang mudeng nggak sih dengan yang dia lakukan?”, “Emangnya itu orang udah memahami Perancis?”, “Itu orang-orang udah pada baca UU Omnibuslaw atau belum sih?” Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya senada: menggugat pemahaman atau rasionalitas orang atas tindakannya.

Pertanyaan itu menurut saya adalah kegagalan kita memahami logika atas alasan orang-orang itu berkerumun. Setiap orang memang mempunyai rasionalitasnya masing-masing atas tindakannya. Tapi, orang tidak bergerak atas rasionalitas yang dimilikinya sendiri. Apalagi bergerak menggunakan rasionalitas orang-orang yang menggugat tadi. Jelas tidak.

Menurut saya, pilihan rasional personal orang dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Orang-orang itu berkerumun bukan karena dia mudeng atau tidak mudeng dengan persoalannya. Ketika seseorang berada di lingkaran orang-orang yang menyambut Habib Rizieq ke Bandara, dia akan cenderung ikut kerumunan itu. Begitu juga untuk kasus kerumunan yang mendemo kedutaan Perancis, atau demonstrasi yang menolak Omnibuslaw. Orang bergerak atas dasar apa yang lazim dilakukan masyarakatnya.

Memangnya, sejak kapan orang melakukan sesuatu karena rasionalitas yang dia bangun sendiri? Jarang sekali, untuk tidak mengatakan tidak pernah. Tindakan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan di luar diri orang tersebut.

Orang bergerak karena masyarakat di sekitarnya bergerak. Justru, kalau dia tidak ikut bergerak, maka dia yang akan digolongkan sebagai penyimpang. Tindakannya dianggap sebagai penyimpangan sosial di komunitas mayarakat tersebut.

Misalnya, seorang perempuan yang menjadi satpam atau sopir bisa dianggap menyimpang atau aneh dalam masyarakat yang mengenal bahwa profesi tersebut lazimnya dipegang oleh seorang laki-laki. Sebaliknya, dalam masyarakat dimana pekerjaan sebagai sopir atau satpam tidak terkait dengan jenis kelamin tertentu, fenomena tersebut jadi biasa saja.

Ini bukan soal baik dan buruk atau benar dan salah. Dalam perspektif gender, fenomena tersebut disebut kesetaraan atau emansipasi. Tapi logika yang berlaku di masyarakat yang pertama, itu penyimpangan.

Bahkan, setiap tindakan manusia dibentuk dan disosialisasikan secara terus menerus sejak kecil. Seseorang akan bertindak sesuai dengan kelaziman masyarakatnya. Misalnya, seorang anak kecil yang ngompol, sejak kecil dia digugat oleh orangtuanya. Sampai kemudian dia mudeng bahwa ngompol itu tidak diterima oleh orang-orang di sekitarnya, anak itu akan berusaha untuk tidak ngompol. Bahkan dalam kondisi bawah sadar pun dia akan berupaya untuk tidak ngompol.

Begitu juga dengan sosialisasi anak-anak soal menerima sesuatu menggunakan tangan kanan. Sejak kecil dia tidak tahu tangan mana yang harus diulurkan untuk menerima sesuatu. Sampai kemudian dia tahu hanya tangan kanan yang dianggap lazim oleh orang-orang sekitarnya, maka dia akan menggunakan tangan itu ketika menerima sesuatu.

***

Dalam masyarakat yang sudah terkoneksi satu sama lain seperti ini, apakah hal tersebut masih berlaku? Apakah tindakan manusia masih dipengaruhi oleh orang lain? Jawabannya: tentu saja iya. Bahkan masyarakat semakin terpolarisasi oleh media sosial. Dengan algoritma yang berlaku di media sosial, tindakan seseorang semakin seragam dengan komunitas digitalnya.

Dalam kasus kerumunan itu, tentu saja permasalahannya bukan apakah dia mudeng atau tidak, juga bukan soal apakah dia sudah membaca atau belum. Persoalannya adalah dia berada dalam lingkaran komunitas yang seperti apa.

Informasi yang dibaca oleh orang-orang yang turun menyambut Habib Rizieq itu berbeda dari informasi yang dibaca para penggugatnya. Begitu juga soal kasus tim “demo Perancis” dan tim tolak Omnibuslaw, narasi yang mereka terima soal Perancis dan Omnibuslaw tentu berbeda dari narasi para penolaknya.

Dalam situasi seperti itu, di lingkungan orang-orang yang turun menyambut Habib Rizieq ke bandara, justru orang-orang yang tidak ke bandara lah yang menyimpang secara sosial. Begitu juga di lingkungan—baik nyata maupun digital—yang tidak ikut menyambut kedatangan Habib Rizieq, orang-orang yang ikut ke bandara akan dilihat sebagai orang yang aneh, tidak rasional, tidak mudeng persoalan, dan satu lagi: menyimpang!

Tapi, sekali lagi, ini bukan soal baik dan buruk, atau benar dan salah. Ini soal bagaimana tindakan sosial manusia itu tidak terlepas dari tindakan masyarakat yang berada di sekitarnya dan narasi yang diterima oleh orang-orang tersebut.

Seandainya para penggugat itu tinggal di lingkungan dan menerima narasi terus menerus yang sama dengan para penyambut Habib Rizieq itu, apakah masih akan menggugat? Apakah manusia se-tak-berdaya itu?

Terus, kalau seorang pejabat, tinggal di lingkungan yang korup, apakah dia juga akan kesulitan untuk tidak berbuat korup? Lho!