Saturday, 16 August 2014

Etnografi: Konsumsi Masyarakat Melayu di Kalbar

            Debu, tanah merah, sawit, jalan bergelombang dan sungai. Itulah yang terlihat dari dalam bak trak, yaitu sebuah truk pengangkut sawit yang mengantarkanku dari Logistik¹ sampai ke Dusun Sengkuang Daok. Tulisan ini akan membahas mengenai konsumsi rumah tangga masyarakat Sengkuang Daok, dilihat dari kepemilikan lahan khususnya mereka yang memiliki kapling sawit dan mereka yang tidak memiliki kapling sawit. Saya telah melakukan penelitian mengenai konsumsi rumah tangga di Dusun Sengkuang Daok, Desa Kuala Buayan, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat kurang lebih selama 25 hari. Dalam 25 hari tersebut, tiga hari pertama adalah hari-hari menjelang puasa. Dua puluh dua hari selanjutnya adalah pada saat bulan Ramadhan 1434 Hijriyah. Dalam tulisan ini, saya membagi kelompok masyarakat Sengkuang Daok menjadi dua berdasarkan ekonomi mereka. Kelompok pertama adalah kelas atas yaitu mereka yang memiliki kapling sawit. Kelompok kedua adalah kelas bawah yaitu mereka yang tidak memiliki kapling sawit, atau tidak memiliki kebun apapun. Sehari-harinya bekerja sebagai petani karet, buruh sawit, atau sebagai pekerja lain.
“Apabila dibilang cukup, ya cukup. Kalau dibilang tidak cukup, ya tidak cukup. Tapi ya dicukup-cukupkan sajalah”, kata seorang yang tidak memiliki kapling sawit dan lahan karet saat ditanya mengenai penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Banyak warga Sengkuang Daok terutama ibu-ibu yang memiliki simpanan emas dan perhiasan lainnya. Emas adalah buah kerja keras mereka sebagai petani sawit. Mereka juga akan terus berusaha untuk membeli kapling sawit lagi”, kata seseorang yang memiliki lahan karet.
“Kapling Sawit adalah investasi masa depan untuk keluarga kami”, kata salah seorang pemilik kapling sawit.
¹ Tempat bongkar muat buah sawit dan barang-barang, tempat penyeberangan dari PT. Bintang Harapan Desa (BHD) ke Meliau.
Globalisasi membawa dampak yang serius di berbagai aspek kehidupan. Baudrillard  (2004) dalam Sindung (2011:163) mengidentifikasikan bahwa tumbuhnya masyarakat konsumsi sebagai salah satu dampak dari globalisasi. Di era ini, dimana batas-batas wilayah seperti terkaburkan oleh kecanggihan teknologi, informasi, dan komunikasi membuat keseragaman mengenai konsep bagaimana gaya hidup yang “dianggap modern dan sesuai” dengan kehidupan manusia masa kini. Dalam masyarakat konsumsi, terdapat kecenderungan orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatannya, melainkan karena gaya hidup (life style), demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi, tayangan sinetron, acara infotainment, dan berbagai media lain. Konsumen pada dasarnya tidak membeli produk, tetapi citra (image). Dalam berbelanja barang, tujuan utamanya bukan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan lebih sebagai sarana untuk mengkonsumsi tanda (sign), yaitu untuk meraih pertanda (signified) berupa mendapatkan gengsi dan pengakuan sosial. Disini nilai guna barang telah bergeser menjadi nilai tanda barang, yaitu untuk mendapatkan atau menaikkan citra pribadi agar dianggap “modern”.
Konsumsi dan gaya hidup erat kaitannya dalam kehidupan masyarakat. Konsumsi terhadap suatu barang menurut Weber ([1922] 1978), merupakan gambaran gaya hidup tertentu dari kelompok status tertentu. Konsumsi terhadap barang merupakan landasan bagi penjenjangan dari kelompok status. Dengan demikian ia dibedakan dari kelas yang landasan penjenjangannya adalah hubungan terhadap produksi dan perolehan barang-barang (Damsar, 2002:121).
Menurut Don Slater (1997) dalam Damsar (2011:113), konsumsi adalah bagaimana manusia dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan sesuatu (dalam hal ini material, barang simbolik, jasa atau pengalaman) yang dapat memuaskan mereka. Berhubungan dengan sesuatu yang dapat memuaskan mereka dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti menikmati, menonton, melihat, menghabiskan, mendengar, memperhatikan, dan lainnya. Jadi pengertian dari Slater tersebut, sesuai dengan istilah mengkonsumsi, seperti yang dikutip Featherstone (2001) dari Raymond Williams, sebagai merusak (to destroy), memakai (to set up), membuang (to waste), dan menghabiskan (to exhaust).
Dengan definisi seperti yang dikemukakan Slater tersebut maka konsumsi mengacu kepada seluruh aktifitas sosial yang orang lakukan sehingga bisa dipakai untuk mencirikan dan mengenali mereka di samping apa yang mereka “lakukan” untuk hidup (Chaney, 2004). Dengan demikian, tindakan konsumsi tidak hanya dipahami sebagai makan, minum, sandang, dan papan saja tetapi juga harus dipahami dalam berbagai fenomena dan kenyataan berikut: menggunakan waktu luang, mendengarkan radio, menonton televisi, bersolek atau berdandan, berwisata, menonton konser, melihat pertandingan olahraga, menonton randai, membeli komputer untuk mengetik tugas kuliah atau untuk mencari informasi, mengendarai kendaraan, membangun rumah tempat tinggal, dan lain sebagainya.
Menengok Sengkuang Daok
Sengkuang Daok adalah salah satu dusun yang ada di desa Kuala Buayan, kecamatan Meliau, kabupaten Sanggau. Nama Sengkuang Daok sendiri diambil dari nama buah khas dusun tersebut, yaitu buah sengkuang. Menurut cerita masyarakat setempat, sengkuang daok adalah salah satu jenis buah sengkuang yang dulu banyak tumbuh di daerah tersebut, oleh karena itu masyarakat menamai dusun mereka dengan nama Sengkuang Daok. Dusun ini dapat dijangkau dari kota Pontianak menggunakan perahu ketek-ketek melalui sungai Kapuas selama kira-kira 22 jam perjalanan. Atau dapat pula digunakan kendaraan bermotor melalui jalur darat dengan membutuhkan waktu selama tiga sampai empat jam perjalanan. Apabila dijangkau dari pusat Kabupaten Sanggau, dapat digunakan kendaraan bermotor dengan memakan waktu selama dua sampai tiga jam perjalanan. Dari kecamatan Meliau, Sengkuang Daok dapat dijangkau dengan kendaraan bermotor melalui jalur darat dengan waktu kurang lebih selama satu jam dengan menyeberang sungai Kapuas menggunakan sampan yang ada di tempat-tempat penyeberangan di BHD logistik atau di Desa Kuala Buayan setelah itu melewati jalan poros dan hutan sawit di kanan kiri jalan. Atau apabila air sungai sedang pasang, dapat pula digunakan sampan dari Meliau ke Sengkuang Daok atau sebaliknya melalui jalur air, yaitu melalui sungai Boyan dengan memakan waktu satu sampai dua jam perjalanan. Selanjutnya apabila dari pusat desa Kuala Buayan, dusun Sengkuang Daok dapat dijangkau menggunakan motor dengan waktu kurang lebih selama tiga puluh menit melalui jalur darat. Apabila menggunakan jalur air, melalui sungai Buayan dapat dijangkau dengan sampan dengan membutuhkan waktu selama 30 menit. Namun apabila musim kemarau dan air sedang surut, jalur air tidak dapat digunakan karena banyak sampah-sampah atau kayu yang ada di tengah sungai sehingga menghalangi perjalanan menggunakan sampan.
Dusun Sengkuang Daok dipimpin oleh seorang kepala dusun (kadus) yaitu Bapak Rudi. Beliau menjadi kepala dusun di Sengkuang Daok sejak bulan November 2011. Di Sengkuang Daok terdapat empat rukun tetangga (RT) yaitu terdiri dari, RT 12 yang diketuai oleh bapak Sa’i, RT 13 yang diketuai oleh bapak Muhairin, RT 14 yang diketuai oleh bapak Agus Susanto, dan RT 15 yang diketuai oleh bapak Idil Buska. Khusus di RT 12, tempatnya agak terpisah jauh dengan RT lainnya di Sengkuang Daok, kira-kira sekitar 2 kilometer dari perkampungan Sengkuang Daok. RT 12 menempati barak kilometer 3 atau sering dikenal dengan sebutan KM 3. Barak KM 3 adalah tempat tinggal yang disediakan oleh perusahaan BHD (Bintang Harapan Desa) bagi karyawannya. Barak ini berada di pinggiran jalan poros atau di tengah-tengah perkebunan sawit divisi I dan divisi II. Disebut KM 3 karena lokasinya tepat tiga kilometer dari logistik perusahaan BHD.
Di tahun 2012, dusun Sengkuang Daoktercatat memiliki 201 KK (kepala keluarga) dan memiliki jumlah penduduk sebanyak 681 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 354 jiwa dan perempuan sebanyak 327 jiwa. Di dusun ini memiliki komposisi penduduk yang beragam. Antara lain adalah terdiri dari berbagai suku bangsa, yaitu Melayu sebagai suku bangsa mayoritas, Dayak, Jawa, Nusa Tenggara, Batak, Sunda, dan sebagainya. Selain itu juga terdiri dari agama Islam, Katholik, Kristen, dan Hindu. Pekerjaan masyarakat di Sengkuang Daok adalah sebagai petani sawit, petani karet, buruh, pedagang, tukang, pegawai negeri sipil (PNS), dan lain sebagainya. Namun hampir semua masyarakat di Sengkuang Daok memiliki kapling sawit atau kebun karet.
            Di Dusun Sengkuang Daok terdapat satu komplek gedung sekolah, yaitu sekolah dasar negeri 035 Sengkuang Daok yang memiliki tujuh ruang. Di sebelah barat sekolah terdapat lapangan olah raga berupa lapangan sepak bola dan lapangan Volly. Ada juga lapangan bulu tangkis di depan rumah Pak RT yaitu, Pak Muhairin yang letaknya tidak jauh dari lapangan sepak bola. Di sebelah barat lapangan sepak bola terdapat makam untuk umum. Dusun ini dilalui oleh sungai Buayan. Masyarakat sekitar sering menyebutnya sebagai sungai Boyan. Di Sengkuang Daok juga terdapat Masjid, mushola, dan gereja. Arah mata angin di dusun ini lebih dikenal dengan istilah darat, laut, hulu, dan hilir. Arah darat untuk menunjukkan arah selatan, arah laut untuk menunjukkan arah utara, arah hulu untuk menunjukkan arah timur, dan arah hilir untuk menunjukkan arah utara. Oleh karena itu, disini terdapat dua jalan, yaitu jalan laut dan jalan darat atau jalan belakang. Jalan laut adalah jalan yang beriringan dengan sungai Boyan. Sedangkan jalan darat atau sering juga disebut jalan belakang adalah jalan dari lapangan menuju jalan poros (LKPJ Desa Kuala Buayan tahun 2012).
Di Sengkuang Daok, listrik hanya menyala dari jam 5 sore sampai dengan jam 6 pagi pada hari senin sampai sabtu. Sedangkan pada hari minggu listrik menyala dari jam 5 sore sampai dengan jam 12 siang.
“...Bip...bip...bip...”
Bunyi pertama adalah “Bibbib,, bibbib,, bibbibb,,” lewat kira-kira pukul 09.40 WIB, menggunakan motor Vega putih, orangnya memakai topi. Biasanya berhenti di depan rumah mamak Erpan, sebelum jembatan kecil Sengkuang Daok, sebelum masjid Sengkuang Daok, di sekitar rumah Hendra, dan lain-lain terkadang berubah-ubah.
Selanjutnya yang datang ke dua hanya terdengar suara knalpot motor Jupiter MX warna birunya saja, tak ada suara lain. Lewat sekitar pukul 09.41 WIB. Adalah orang Sengkuang Daok, tidak membunyikan klakson, tetapi langsung berhenti ditempat-tempat langganannya seperti di depan rumah Erpan, di depan warung pak Rabuansyah, di depan rumah pak Supii, di depan rumah Hendra, dan lain-lain terkadang berubah. Barang yang dibawa adalah sayuran, jagung, agar-agar, tahu, ikan, bawang, buncis, labu, dan lain-lain namun tidak ada jajanannya.
Bunyi yang ke 3 adalah “bip bip bip bip,,,, bip bip bip bip,,,,”. Lewat sekitar pukul 10.25 WIB. Menggunakan motor Jupiter Z warna biru. Biasanya berhenti di depan warung pak Rabuansyah, di depan rumah bang I, di sekitar rumah Datok Erpan yang di hulu, dan lain-lain terkadang ganti-ganti.
Bunyi yang ke empat adalah “Bip,,,   bip,,,   bip,,,” jeda agak lama. Lewat sekitar pukul 12.00 WIB. Menggunakan motor Vega ZR warna merah. Biasanya berhenti di daerah sebelum masjid, setelah masjid, dan daerah lapangan.
Ke empat bunyi tersebut adalah suara klakson motor yang dibunyikan oleh tukang sayur sebagai tanda kedatangan mereka untuk pelanggan-pelanggan setianya. Setiap hari masyarakat Sengkuang Daok khususnya ibu-ibu selalu menunggu kedatangan mereka untuk berbelanja segala kebutuhan dapur sehari-hari. Biasanya ibu-ibu yang memiliki kapling sawit atau yang tidak menoreh akan bertemu dengan ke empat penjual sayur tersebut karena mereka tidak harus kemana-mana untuk mencari rupiah. Ibu-ibu pemilik lahan sawit menghabiskan waktunya dirumah untuk mengurus keperluannya di rumah setiap hari. Berbeda dengan ibu-ibu yang setiap hari pergi menoreh, mereka biasanya hanya bertemu dengan penjual sayur nomor tiga dan atau empat saja karena sejak pagi buta hingga kira-kira jam 10 sampai paling lama jam 12 mereka harus menoreh getah karet di kebunnya. Belum lagi bagi ibu-ibu yang suka mengambil jamur atau mengambil sayuran di hutan, mereka harus pulang lebih lama dari yang lain. Ibu-ibu biasanya berjalan kaki atau membonceng suaminya naik motor untuk sampai pada kebun karetnya. Sehingga ada yang harus pulang lebih lama dari yang lain, tergantung jarak dari rumah ke kebun karet mereka. Selain itu, setelah menoreh sebagian ibu-ibu juga ada yang memancing ikan di sungai Boyan sebagai pelengkap lauk mereka.
Sebenarnya terdapat 6 penjual sayuran di Sengkuang Daok. Namun 1 penjual sudah pulang ke Jawa karena menikah. Mungkin nanti setelah lebaran penjual tersebut kembali berjualan. Sementara penjual nomor 6 adalah penjual sayuran yang datang di sore hari. Diantara ke 6 penjual tersebut, 3 diantaranya sudah berjualan sejak lama yaitu penjual nomor 1, 2, 4, dan 6. Sedangkan 2 lainnya baru beberapa bulan berjualan di Sengkuang Daok. Perbedaan diantara kelima penjual tersebut adalah waktu lewat, karena waktu lewatnya yang berbeda maka masing-masing penjual sayur memiliki pelanggannya sendiri-sendiri. Karena masyarakatnya ada yang bekerja dari pagi sampai siang, ada yang di rumah, ada yang kadang bekerja kadang tidak, jadi mereka bertemu dengan tukang sayur yang jadwalnya bertepatan dengan waktu mereka di rumah. Sehingga penjual sayuran memiliki pelanggan, jadwal keliling, dan daerah pemberhentian yang berbeda-beda. Selain itu mereka memiliki cara memanggil pelanggan yang berbeda, yaitu dengan bunyi klakson yang berbeda, barang yang dijualpun ada juga yang beda, bahkan terkadang harga yang dijual juga berbeda.
Di depan rumah Pak Muhairin terdapat warung milik  pak khairullah. Disana menjual berbagai macam makanan dan minuman ringan dan juga bensin. Makanan yang dijual diantaranya adalah mizone, ale-ale, kratingdaeng, minuman bersoda seperti fanta dan sprite, es, pop ice, marimas, taro, ciki-ciki, rokok, kerupuk, roti bungkusan, permen, extra joss, agar-agar, dan makanan kecil lainnya. Warung pak Khairullah buka mulai jam setengah 8 pagi sampai maghrib, namun terkadang di malam hari juga masih buka. Warung yang serupa juga terdapat di sebelah lapangan sepakbola Sengkuang Daok, sementara itu warung yang lebih besar juga ada, yaitu warung milik Pak Rabuansyah. Warung Pak Rabuansyah juga menerima pembelian sawit dari pekarangan rumah masyarakat di Sengkuang Daok, warung ini juga sebagai pengepul karet milik warga.
Selain di sekitar dusun, masyarakat sekitar juga membeli kebutuhan di Pasar Meliau. Disana terdapat penjual berbagai macam keperluan rumah tangga. Seperti perlengkapan dan peralatan rumah, perlengkapan dan peralatan dapur, toko HP, konter, dan kamera, berbagai macam makanan dan minuman, mainan, petasan, berbagai jenis baju, perlengkapan sekolah, warnet dangame center, dan sebagainya.
Di Sengkuang Daok juga terdapat tukang jualan barang pecah belah yang lewat setiap minggu di sekitar desa Kuala Buayan. Mereka rutin berkeliling di Sengkuang Daok sebulan sekali, biasanya setelah gajian seperti tanggal 1 atau 2 atau mendekati tanggal tersebut. Mereka berjumlah 2 orang dan berjualan dengan menggunakan bak terbuka. Barang yang dijual adalah bak, ember, gelas (plastik dan kaca), mainan anak (truk mainan dan mainan plastik lain), peralatan dapur (teko, serok, keranjang plastik, panci, piring, wajan, sendok, cangkir, toples), sandal (plastik dan kulit), gantungan baju, wadah buah, keranjang, tudung saji, centong, peralatan mandi, botol minuman anak-anak, wajan, magicom, panci fast food, dan lainnya. Barang-barang tersebut adalah pesanan atau paketan dari Pontianak lewat ketek-ketek.
Sumber konsumsi lain masyarakat Sengkuang Daok adalah berasal dari pekarangan rumahnya. Namun orang di Sengkuang Daok, baik yang memiliki kapling ataupun yang tidak memiliki kapling, masih membiarkan lahan kosong yang ada di sekitar rumah mereka dengan tidak menanami tanaman apapun kecuali tanaman itu tumbuh sendiri. Ada indikasi bahwa orang Melayu tidak terbiasa menanami lahan mereka dengan sayur-sayuran. Berbeda dengan halaman rumah milik orang jawa, disekitarnya terdapat tanaman dapur seperti lombok, singkong, dan yang lainnya.
Beda Kemampuan, Beda Kemauan
            Mayoritas masyarakat Sengkuang Daok beragama islam. Seperti kita tahu, di bulan puasa umat islam diwajibkan untuk berpuasa dari terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari. Kondisi udara Sengkuang Daok yang panas membuat puasa disana terasa berat. Saat menjelang buka puasa adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh kebanyakan orang disini. Bahkan sudah sejak pagi ketika ibu-ibu saling bertemu di tempat penjual sayur, membicarakan menu apa yang akan dihidangkan dalam buka puasa sore nanti. Ibu-ibu di Sengkuang Daok biasanya membeli keperluan ataupun makanan mentah untuk menu buka puasa sejak pagi, yaitu sekitar jam 9 sampai jam 12, ketika penjual sayur datang. Makanan yang dijual oleh tukang sayur tersebut antara lain adalah bahan kolak (buah bululuk (kolang-kaling), cendol, cincau, agar-agar), ikan (bawal, tuna), sayuran (pare, kol, cabe, tauge, terong, jagung, bawang, tomat, capcay, sawi, tauge, buncis), buah-buahan (semangka, pepaya, jeruk, labu), tahu, kulit sapi, tempe, sosis, ayam, teri, sagu, jahe, susu, terasi, wafer, bakso, sabun, dan lain sebagainya.
Biasanya orang-orang kelas atas, yaitu pemilik lahan sawit mengeluarkan uang antara Rp. 20.000 sampai Rp. 50.000 dalam sehari. Namun tergantung juga pada jumlah anggota keluarga dalam satu rumah. Contohnya adalah Mamak Erpan dengan anggota keluarga sebanyak 5 orang, pada tanggal 19 Juli 2013 Mamak mengeluarkan uang sebanyak 45.000 untuk membeli 1 kilogram ayam dan Rp. 20.000 untuk membeli tauge, tahu, dan kol. Pada tanggal 20 Juli, Mamak menghabiskan Rp. 45.000 untuk membeli cincau, kolang-kaling, dan capcay. Pada tanggal 29 Juli, mamak mengeluarkan uang sebanyak Rp. 35.000 untuk membeli ikan bawal dan Rp. 32.000 untuk membeli tahu, kentang, dan kwetiau. Sementara itu untuk keperluan dapur lain yang belum lengkap Mamak Erpan biasanya mengambil di pekarangan rumah atau di hutan. Contohnya adalah berbagai sayuran seperti sayur pakistebu, pisang, jamur, daun singkong, daun pepaya, dan sebagainya.
Sementara itu, untuk keluarga yang tidak memiliki sawit, sebagai contoh adalah keluarga Dede (bukan nama asli) dengan jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang, biasanya mengeluarkan uang antara Rp. 10.000 sampai Rp. 30.000 untuk membeli keperluan makan sehari. Biasanya mereka membeli cincau atau agar-agar atau cendol, dan sayuran atau lauk. Mereka juga sering memanfaatkan hasil tanaman-tanaman di sekitar rumah atau bahkan sering juga memancing untuk melengkapi menu makan.
Selain tukang sayur yang datang setiap pagi, setiap sore sekitar jam 4 juga ada orang yang berkeliling kampung Sengkuang Daok menggunakan motor yang menjual makanan untuk buka dan juga menjual beberapa sayuran. Biasanya yang dijual adalah semangka, tomat, tahu, mentimun, sosis, tauge, buncis, bakpao, gelang, sawi, labu, sayuran, jahe, dan lain sebagainya. Ada juga ibu-ibu yang berkeliling dengan jalan kaki membawa tampah atau termos es yang menjual Apam (martabak), tape, dan cendol untuk menu berbuka puasa.Selain itu ada juga penjual buah labu dan semangka.
Untuk keperluan dalam satu bulan biasanya masyarakat berbelanja di pasar Meliau ataupun di desa Kuala Buayan. Contohnya adalah keluarga Mamak Erpan (memiliki lahan sawit), biasanya membeli di desa Kuala Buayan untuk keperluan setengah bulan. Contohnya adalah pada tanggal 22 Juli 2013, keluarga ini membeli keperluan di Kuala Buayan yang antara lain adalah fortune, racun nyamuk baygon bakar, baygon semprot, kopi, kaleng susu enak, sabun giv, sabun cuci, 1 kardus Indomie, sabun cuci pakaian, pasta gigi, garam, gula, telur, 1 jerigen minyak goreng, beras, jajanan dan lainnya. Uang yang dikeluarkan untuk belanja barang-barang tersebut adalah Rp. 547.000. Namun untuk 1 bulan keluarga ini hampir mengeluarkan antara 2 juta sampai 3 juta untuk keperluan konsumsi dan perlengkapan rumah.
Sedangkan untuk keluarga Dede yang notabene adalah keluarga yang hanya memiliki kebun karet sebagai satu-satunya sumber penghasilan, pergi sebulan sekali ke Kuala Buayan untuk menjual karet sekalian berbelanja kebutuhan bulanan seperti beras, gula, kopi, teh, coklat, telur, tepung, dan lain-lain. Kalau perlengkapan dapurnya ada yang habis sebelum jadwal belanja, biasanya Dede pergi ke Buayan untuk membeli lagi. Pendapatan keluarga Dede dari menjual karet setiap bulannya adalah sekitar 3 juta. Sedangkan mereka menghabiskan uang untuk belanja dalam satu bulan biasanya hampir Rp. 1.700.000. Belum lagi untuk belanja harian seperti membeli sayur dan keperluan dapur, rata-rata setiap harinya menghabiskan uang Rp. 10.000. Jadi kalau di total, pengeluarannya antara 2 juta sampai 2,5 juta dalam satu bulan.
Menu makanan yang dikonsumsi pada saat berbuka puasa dan sahur oleh keluarga pemilik kapling juga nampak terjadi perbedaan dengan keluarga yang tidak memiliki lahan sawit. Biasanya untuk berbuka puasa, masyarakat Sengkuang Daokpada umumnya menjalankan tiga sesi hidangan, yaitu:
1.      Hidangan pembuka (takjil)
Adalah hidangan yang disajikan saat berbuka puasa (takjil) untuk membatalkan puasa, biasanya menunya adalah Es cincau, bakwan, kurma, dan makanan kecil lainnya yang manis-manis.
2.      Hidangan inti (makan besar)
Adalah hidangan yang disajikan setelah berbuka puasa atau setelah sholat maghrib. Biasanya menunya adalah Nasi, sayuran, gorengan, ikan, ayam, mie, air putih dan sebagainya.
3.      Hidangan penutup (cuci mulut)
Adalah hidangan yang disajikan setelah makan besar, sebelum tarawih atau setelahnya. Menunya biasanya adalah teh, kopi, coklat, kolak pisang, buah-buah kecil dan lainnya. Apabila hidangan penutupnya seperti kolak dan lainnya belum habis, bisa dimakan lagi pada waktu sahur.
Perbedaan konsumsi keluarga kelas pertama dan kelas kedua terletak pada jumlah ragam sayur dan lauk dalam satu kali hidangan. Biasanya untuk keluarga pemilik lahan sawit, mereka makan dengan minimal 2 jenis sayur dan minimal 2 jenis lauk dalam satu kali hidangan. Sedangkan untuk keluarga yang tidak memiliki lahan sawit, mereka makan dengan menu sederhana yaitu minimal 1 jenis sayur dan lauk.
Misalnya adalah menu buka puasa keluarga Emi (tidak memiliki kapling sawit) pada tanggal 20 Juli 2013, yaitu kelapa muda (tidak menggunakan es batu tapi menggunakan air dingin), kue tambi, dan air putih. Menu makan malamnya adalah nasi, telur dadar, sozis tumis, sayuran, dan es segar sari. Menu yang digunakan untuk makan sahur biasanya menggunakan menu makanan yang sama dengan menu makan malam. Jadi mereka hanya memasak diwaktu sore, di waktu sahur tinggal memanaskan saja. Menu sahur hari itu adalah nasi, telur dadar, sosis, tumis, dan sayur. Minumannya biasanya adalah es rasa-rasa (marimas, segar sari, kukubima, dan lain-lain).Menunya adalah nasi, kwetiau, ikan pindang, dan es kukubima.
Menu berbuka di keluarga Dede (tidak memiliki kapling sawit) pada tanggal 22 Juli 2013 adalah ketok ubi (singkong direbus, ditumbuk, dan dicampur dengan gula dan kelapa parut), es campur (cincau campur dengan cendol), dan gorengan. Menu makan malamnya adalah nasi putih, ikan asin (balor), jerok pucok ubi (daun singkong permentasi), cabe belacan (sambal terasi), tempoyak, dan lalap pucuk kunyit. Biasanya menu makan malam ini dimakan lagi ketika makan sahur. Jadi pada saat sahur tinggal memanaskan lauk ataupun membuat lauk sederhana dengan waktu yang cepat. Menu sahurnya adalah nasi putih, ikan asin, jerok pucok ubi, cabe belacan, tempoyak, dan lalap pucuk kunyit.
Menu berbuka puasa di keluarga Zul (memiliki lahan sawit) pada tanggal 29 Juli 2013 antara lain adalah bakwan, pisang goreng, dan es cendol. Menu makan malamnya antara lain adalah nasi, ikan nila goreng, ayam goreng, sayur kangkung, timun, dan sambal terasi.Sementara itu, untuk menu sahurnya kurang lebih hampir sama dengan menu makan malamnya.
Ongkos pulang. Ketika itu saya mengobrol dengan bang Alek (bukan nama asli), tidak memiliki kapling sawit.Beliau adalah orang Nganjuk, Jawa Timur. Menurut beliau orang Jawa membutuhkan biaya banyak untuk mudik dan kembali lagi ke Kalimantan. Untuk pulang ke Nganjuk, 1 orang kira-kira kalau di total membutuhkan uang sampai 5 juta karena daerahnya di pedalaman sehingga harus beberapa kali pindah angkutan. Karena di keluarganya terdapat 5 orang anggota keluarga maka untuk bisa pulang semua ke Nganjuk dan kembali ke Kalimantan membutuhkan uang 25 juta. Uang itu di gunakan untuk transportasi, transportasinyapun dihitung naik kapal, kalau naik pesawat bisa lebih mahal lagi. Selain transportasi biaya lainnya adalah untuk membeli oleh-oleh, memberi angpau untuk saudara-saudara termasuk untuk orang tua, untuk makan selama di Jawa, dan lain-lain. Oleh karena itulah selama 7 tahun ini bang Juki belum lagi mudik ke Jawa karena harus berpikir ulang masalah uang. Untuk lebaran tahun ini pun keluarga Bang Alek tidak mudik ke Jawa. Bahkan Bang Alek sudah merasa kalau Kalimantan adalah rumahnya, jadi mau pulang kemana lagi kalau tidak ke rumahnya.
Pak Harahap adalah orang Batak.Beliau dari Sumatra. Anggota keluarganya adalah 5 orang. Beliau memiliki kebun sawit dan menjadi penjual pupuk sawit. Untuk mudik ke Sumatra juga dibutuhkan biaya yang banyak. Untuk keluarganya kira-kira membutuhkan uang sekitar 5 jutaan per orang. Biasanya beliau kalau pulang ke Sumatra naik pesawat. Keluarga Beliau setidaknya pulang ke Sumatra setahun sekali. Untuk tahun ini rencananya beliau sekeluargapulang sebelum lebaran, naik pesawat.
Kehidupan Pemilik Lahan
Sekitar jam 5beberapa anggota keluarga bapak Muhairin terlihat sudah bangun tidur untuk melakukan ibadah dan merebus air. Nampaknya sekitar jam enam Pak Muhairin dan Datok Erpan kompak mengobrol sambil meminum kopi dan merokok di ruang tamu. Inilah kebiasaan keluarga ini setiap pagi. Sekitar jam tujuh, mulai ada beberapa tetangga yang bergabung untuk bersama-sama menikmati kopi. Ibu-ibu memasak di belakang, sedangkan para bapak duduk di sofa sambil minum kopi di ruang tamu. Setelah masakan dihidangkan, mereka sarapan bersama di ruang belakang dengan menu yang cukup lengkap, yaitu nasi, sayuran (olahan kacang tanah, mie, daun pepaya, dan lain sebagainya), lauk (berbagai jenis ikan, telor, ayam, gorengan, dan lain sebagainya), terkadang terdapat buah-buahan, minumannya adalah air putih. Setelah sarapan, biasanya anak-anak mandi, mereka terlihat lebih suka mandi di sungai karena bisa sambil bermaindan berenang di sungai. Sedangkan ibu-ibu biasanya mencuci piring dan juga mencuci pakaian.Untuk yang rumahnya di sekitar jalan darat, biasanya mereka mandi dan mencuci di rumah masing-masing namun kadang-kadang ke sungai, sedangkan untuk yang rumahnya di sepanjang jalan laut mereka biasa mencuci dan mandi di sungai meskipun terdapat kamar mandi di rumahnya. Sementara itu bapak-bapak melanjutkan perbincangannya di ruang tamu.
Ketika siang datang, udara di Sengkuang Daok menjadi sangat panas. Banyak orang khususnya laki-laki yang membuka bajunya lalu merebahkan badannya di lantai karena merasa kepanasan. Sementara itu ibu-ibu nampak memilih mengobrol dengan tetangganya atau memilih berdiam di rumah dan tidur. Anak-anak terlihat asyik bermain dengan teman lainnya dan mendengarkan MP3 atau bermain game yang ada di Handpone nya. Rata-rata anak SMP disana sudah memiliki HP meskipun tidak diperbolehkan untuk dibawa di sekolahannya. Mereka makan siang pada jam satu siang dengan menu yang kurang lebih sama dengan menu makan pagi. Terkadang ibu-ibu pergi ke hutan untuk mencari jamur atau mencari buah di hutan.
Di sore hari banyak orang tua dan pemuda yang berkumpul di rumah pak Muhairin untuk bermain bulu tangkis bersama. Mereka bermain dari jam setengah empat sampai hampir maghrib. Kebanyakan dari mereka yang bermain adalah orang-orang yang memiliki lahan sawit dan tidak bekerja di pagi atau di siang harinya. Sementara itu pemuda lainnya memilih untuk nongkrong di batu². Mereka berduyun-duyun naik motor untuk menuju kesana. Mereka biasanya menghabiskan waktu sorenya disana dengan mengobrol, merokok, memandangi orang yang lewatdan menggodanya. Mereka tak akan pulang kalau belum maghrib atau hujan datang.
Mulai jam 5 sore listrik di rumah-rumah di Sengkuang Daok mulai beroperasi. TV, musik, dan lampu pun serentak menyala di rumah-rumah Sengkuang Daok.Setelah itu mereka mandi dan sejenak duduk di rumah. Setelah maghrib mereka kembali minum kopi, teh, atau coklat dan dilanjutkan dengan makan malam. Menu makan malam mereka biasanya adalah nasi, berbagai jenis sayur, lauknya biasanya berupa ikan, dan berbagai jenis buah.Minumannya adalah es, teh, kopi, atau coklat. Setelah makan malam mereka menonton TV sampai larut malam dan tidur.


² Tempat berkumpul anak-anak muda Sengkuang Daok, letaknya di persimpangan jembatan jalan poros menuju Sengkuang Daok, atau di ujung barat jalan darat Sengkuang Daok.
Begitulah kehidupan rumah tangga pemilik kapling sawit di hari-hari biasa. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Mereka pergi ke kapling sawit seminggu sekali apabila memupuk dan memanen sawit saja. Itupun dibantu dengan beberapa buruhnya. Selebihnya mereka hanya mengontrol saja.
Sementara itu, kehidupan berbeda dijalani oleh keluarga yang tidak memiliki kapling sawit atau yang bekerja menoreh karet. Sejak jam 5 pagi mereka harus pergi ke kebun karet untuk menoreh. Biasanya mereka menggunakan motor bagi yang punya motor atau berjalan kaki bagi yang kebun karetnya berada di pedalaman dan tidak dapat dijangkau dengan kendaraan atau ada juga yang menggunakan sampan bagi yang kebun karetnya berada di sekitar aliran sungai. Mereka bekerja seharian di kebun dan baru pulang sekitar jam 11, 12, bahkan sampai jam 1, tergantung jarak kebun karet dari rumah mereka. Untuk yang kebunnya jauh, mereka bisa menghabiskan 1 jam perjalanan.Sampai di rumah mereka harus mencetak karet yang masih cair untuk dibentuk menjadi persegi. Selesai mencetak karet, mereka mandi lalu makan siang. Menunya lebih sederhana, biasanya adalah nasi, lauk, dan sayur.Minumannya adalah air putih. Setelah itu mereka memilih untuk tidur siang karena sudah letih bekerja dari pagi. Mereka rutin melakukan hal tersebut apabila cuaca sedang bagus, kalau malamnya hujan mereka tidak menoreh, karena getah karetnya akan bercampur dengan air. Mereka terkadang menghabiskan waktu paginya dengan berdiam diri di rumah atau memilih untuk memancing ikan di sungai Boyan.
Seperti yang sering dilakukan oleh keluarga Dede, baik Hendra, bang Dede, bang Ari, maupun bapaknya semuanya sangat hobi mencari ikan di sungai. Setiap seminggu sekali hampir pasti mereka mencari ikan. Mereka mengayangdi malam hari atau memancing di siang hari. Mengayang adalah mencari ikan dengan menggunakan semeter atau tembakan manual menggunakan tangan. Caranya adalah dengan menyelam mencari di sekitar kayu besar yang ada sungai, biasanya ikan ada di sekitar kayu-kayu tersebut. Setelah menemukan ikan, langsung ditembak menggunakan semeter. Biasanya hasil yang didapat dari menyelam adalah ikan besar-besar, kalau pandai menyelam bisa dapat banyak. Namun kalau mencari ikan di pinggiran menggunakan sampan dengan jaring atau dengan memancingbiasanya hasilnya ikan kecil dan lebih sedikit. Biasanya mereka menyelam dari jam 7 sampai jam 11 malam kalau di hari biasa. Tetapi kalau di bulan puasa, mereka mulai dari setelah shalat tarawih sampai jam setengah 12.
Terakhir bang Dede memancing di sungai boyan dari jam 9 sampai jam 1 siang mendapatkan tak kurang dari 60 ekor ikan. Walaupun mereka mendapatkan banyak ikan namun ikan hasil memancing maupun menyelam tidak pernah mereka jual. Mereka memancing hanya untuk hobi saja, ikannya digunakan untuk lauk di keluarganya. Kebiasaan orang-orang di Sengkuang Daok kalau memiliki sesuatu baik hasil sayur-sayuran, hasil memancing, hasil ternak ayam, maupun tumbuh-tumbuhan di sekitar rumah lebih sering digunakan untuk keperluan sehari-hari di rumah, tidak untuk dijual. Di sekitar rumah Dede sendiri terdapat pohon durian, sirsak, pekawai, dan beberapa sayuran. Keluarga Dede tidak pernah menjualnya, kalau ada orang yang berminat membelinya terkadang malah diberikan secara gratis. Bahkan kalau pohon durian atau rambutannya tidak berbuah, mereka justru membeli pada orang yang berjualan keliling kampung ataupun membelinya di pasar.
Di sore hari biasanya mereka ada yang bermain bulu tangkis, ada pula yang memilih untuk di rumah atau mengambil beberapa hasil kebun mereka seperti buah kelapa, pisang, dan lainnya. Di malam hari mereka duduk-duduk di rumah sambil menonton TV ditemani kopi, teh, atau coklat. Setelah itu mereka makan malam dengan menu yang hampir sama dengan menu makan siangnya. Setelah itu tidur dan besok pagi mereka akan mengulangi serangkaian kegiatan hari tadi. Selain itu, adapula warga yang mengisi malamnya dengan mengayang.
Di bulan puasa,kehidupan keluarga pemilik lahan tak jauh berbeda dengan hari-hari biasa. Mereka makan sahur sekitar jam 3 pagi, lalu menonton TV sampai jam 5 pagi, dan tidur setelahnya. Mereka bangun sekitar jam 6 pagi dan menjalani aktifitas yang sama dengan hari-hari biasa. Mereka juga ada yang tetap bermain bulu tangkis di sore hari meskipun puasa. Buka puasa, lalu sholat tarawih, minum kopi, teh, atau coklat, menonton TV dan tidur. Perbedaannya cuma ketika mereka bekerja, baik memupuk ataupun memanen sawit, mereka tidak berpuasa karena dalam memanen sawit dibutuhkan tenaga yang luar biasa. Karena tidak berpuasa, merekapun tidak melaksanakan sahur. Mereka memanen sawit dari pagi sekitar jam 6 sampai kira-kira jam 3 sore, tergantung banyaknya buah sawit yang dipanen.
Sementara itu, kehidupan keluarga pemilik karet di bulan puasa nyaris tak berubah dari hari-hari biasa, namun tetap berbeda dengan pemilik lahan sawit. Bagi yang berpuasa, mereka sahur pada jam 3 pagi. Setelah sholat subuh, sekitar jam 5 mereka langsung berangkat ke kebun untuk menoreh karet. Mereka kadang tidak berpuasa saat bekerja karena takut tidak kuat. Bekerja di kebun karet juga membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Seseorang bahkan butuh makan lebih banyak saat mereka harus bekerja di kebun karet.
Aktifitas lain dijalani oleh orang yang memiliki hewan ternak. Biasanya adalah orang  Dayak di Sengkuang Daok. Banyak dari mereka yang beternak babi di rumahnya.Perempuan disana setiap sore mencari rumput di hutan untuk makan ternak babi mereka. Mereka beramai-ramai bersama ibu-ibu lain, berjalan kaki sekitar jam 4 sampai jam 5 sore. Membawa karung dan parang.
Ini Rumah Orang Kaya
Rumah adat etnik melayu adalah rumah panggung. Begitu juga rumah masyarakat Sengkuang Daok yang notabene adalah beretnik melayu. Karena berbentuk panggung, maka terdapat ruang kosong dibawah rumah tersebut. Tinggi panggungnya bisa mencapai 5 meter. Dulu digunakan oleh orang-orang untuk menumbuk padi. Selain itu secara historis, asal-usul orang Melayu adalah orang yang berada di daerah hilir sungai. Jadi rumahnya relatif bisa terkena banjir saat air sungai meluap. Oleh karena itu pulalah rumah adat orang Melayu berbentuk panggung. Seluruh bangunan rumahnya menggunakan kayu, kecuali atapnya yang menggunakan genteng, mulai dari tangga dari tanah ke lantai satu, penyangganya, lantainya, sampai dindingnya, semua menggunakan kayu. Namun seiring perkembangan jaman, rumah orang-orang Melayu di Sengkuang Daok banyak yang sudah menggunakan keramik sebagai lantainya, dindingnya menggunakan kayu lempeng yang dilapisi semen atau tembok, meskipun rumah mereka tetap berbentuk panggung, namun tidak setinggi rumah panggung orang-orang dulu. Tinggi rumah orang-orang Melayu di Sengkuang Daok sekarang kira-kira hanya 1 meter. Panggungnyapun sudah beralih fungsi. Sekarang bukan lagi digunakan sebagai tempat untuk menumbuk padi, melainkan tempat untuk menyimpan barang-barang kecil seperti sapu, sepatu boot, bahkan ada juga yang menggunakannya sebagai garasi motor, atau ada pula yang mengosongkan ruang dibawah rumah tersebut.
Max Weber dalam Economy and Society menyatakan bahwa tindakan konsumsi dapat dikatakan sebagai tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku dari individu lain dan oleh karena itu diarahkan pada tujuan tertentu (Weber [1922] 1978:4). Sedangkan tindakan sosial itu sendiri, menurut Weber, terdiri dari: satu, zweckrationalitat/instrumentally rational action/tindakan rasional instrumental yaitu tindakan yang berdasarkan pertimbangan yang sadar terhadap tujuan tindakan dan pilihan dari alat yang dipergunakan. Dua, wertrationalitat/value rational action/ tindakan rasional nilai, yaitu suatu tindakan di mana tujuan telah ada dalam hubungannya dengan nilai absolut dan akhir bagi individu. Tiga, affectual type/ tindakan afektif, yaitu suatu tindakan yang didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar seperti cinta, marah, suka, atau duka. Empat, traditional action/ tindakan tradisional yaitu tindakan yang dikarenakan kebiasaan atau tradisi (Damsar, 2011:120-121).
Berdasarkan hal tersebut, pembangunan rumah panggung orang-orang Melayu di Sengkuang Daok sekarang tidak lagi berdasarkan tindakan rasional instrumental/ zweckrationalitat/instrumentally rational action. Melainkan adalah tindakan tradisional / traditional action. Karena mereka tidak lagi membangun rumah panggung dengan alasan untuk menumbuk padi atau untuk terhindar dari banjir. Mereka membangun rumah panggung karena mengikuti tradisi leluhurnya meskipun fungsi dari rumah panggung itu beralih. Bahkan beberapa wilayah di Sengkuang Daok, khususnya di daerah hilirmasih sering terkena banjirdari luapan sungai Boyan yang tingginya bisa mencapai satu meter dari permukaan tanah meskipun rumah mereka adalah rumah panggung.Analisis ini diperkuat dengan dibangunnya rumah panggung di daerah huluyaitu daerah yang tidak terkena banjir karena permukaan tanahnya lebih tinggi dari pada yang di hilir.
Namun tidak semua masyarakat Sengkuang Daok membangun rumah panggung. Salah satunya adalah rumah Bang No, bahkan satu-satunya rumah yang bukan rumah panggung di sepanjang jalan laut di Sengkuang Daok. Beliau adalah orang Melayu, namun bentuk rumahnya mengikuti bentuk rumah orang-orang modern, yaitu dibangun dengan lantai keramik, batu bata sabagai dindingnya, dan genteng sebagai atapnya. Tinggi lantainya bahkan hampir sama dengan tanah. Padahal letaknya tepat menghadap ke sungai Boyan. Tindakan tersebut dinilai sebagai tindakan konsumsi untuk menunjukan identitas diri seseorang tersebut. Konsumsi memang dapat dilihat sebagai pembentuk identitas. Barang-barang simbolis dapat juga dipandang sebagai sumber yang mana orang mengkonstruksi identitas dan hubungan-hubungan dengan orang lain yang menempati dunia simbolis yang sama. Seperti yang disebut oleh Simmel ([1907] 1978 : 323) dalam Damsar (2002: 120) ego akan runtuh dan kehilangan dimensinya jika ia tidak dikelilingi obyek eksternal yang menjadi ekspresi dari kecenderungannya, kekuatannya dan cara individualnya karena mereka mematuhinya, atau dengan kata lain, miliknya.
Menurut Damsar (2011:128) identitas secara sederhana, dapat dipahami sebagai suatu pertanyaan tentang diri, yaitu siapa aku, berkait dengan ruang dan waktu sosial. Apa yang dikonsumsi seperti pakaian, kendaraan, makanan, dan perumahan dapat menjadi penanda identitas seseorang atau kelompok orang. Berkaitan dengan hal tersebut, pembangunan rumah Bang No dengan mengikuti mode modern adalah untuk menunjukkan identitas dirinya sebagai orang yang berada. Masyarakat sekitar secara wajar menerima tindakan Bang No karena memang Bang No berasal dari kalangan yang punya. Secara matematis, pada waktu itubiaya yang dikeluarkan untuk membangun rumah dengan model modern lebih mahal dibandingkan dengan rumah yang dibangun dengan model panggung. Jadi ketika rumah itu dibangun, masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang berharga. Namun kondisinya mungkin akan berbeda dengan sekarang, karena kini kayu sudah semakin mahal dan susah didapat. Jadi orang yang membangun rumah panggungpun sekarang tidak kalah “ngetop” dengan orang yang membangun rumah modern.Sekarang orang menunjukan identitas mereka sebagai orang yang berada atau mereka yang dari golongan keluarga kaya, khususnya adalah pemilik lahan sawit  dengan cara mulai membuat lantai dua, melapisi dinding kayu dengan semen atau mengganti lantai kayu dengan keramik di rumah panggungnya.
Sekarang orang-orang yang memiliki lahan sawit akan semakin kaya dan akan terus memperbaiki rumahnya dengan melengkapi fasilitas yang mereka inginkan. Bagaimana tidak, sekarang harga sawit semakin mahal. Berbeda dengan harga karet yang semakin lama semakin turun. Orang-orang yang hanya menggantungkan hidupnya pada getah karetpun akan tetap dalam kondisi yang sederhana dan bisa dibilang pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Sekarang dapat dilihat perbedaan antara rumah-rumah milik orang yang memiliki lahan sawit dan rumah orang yang hanya memiliki lahan karet, atau rumah milik orang yang tidak memiliki lahan sama sekali di Sengkuang Daok. Meskipun sama-sama rumah panggung, namun dilihat dari kualitas, tampilan, serta isi atau inventarisasi barang yang ada didalam rumah tersebut jauh berbeda. Rumah orang kaya atau pemilik lahan sawit sudah banyak yang berlantai dua, lantainya berupa keramik, dindingnya sudah mulai dilapisi dengan semen dengan cat yang menarik. Selain itu didalam rumah tersebut setidaknya terdapat fasilitas yang lengkap. Dalam hal ini saya mengambil contoh barang yang dimiliki oleh rumah dari keluarga Bapak Muhairin sebagai pemilik kapling sawit yang memiliki dua lantai. Barang-barang yang dimiliki antara lain adalah dispenser Pure It, lukisan masjid madinah berukuran 120 x 90 cm, sofa (panjang 1, kursi 3, meja), foto keluarga, TV 21 Inch polytron dan digital parabola Skynindo, kaset VCD dan DVD, DVD 2, lemari TV, mesin jahit 2, lemari pakaian, lemari kaca tempat barang pecah belah, gergaji mesin Falcon 5200, mesin sampan Tohatsu, sampan, pompa, speaker 2, lemari kaca, lemari es, dispenser 2, magicom, kompor gas, kamar mandi dan WC, 4 kamar tidur, dan sebagainya.
Sementara itu, kondisinya cukup berbeda dengan rumah orang yang hanya memiliki kebun karet atau tidak memiliki lahan sama sekali, baik kebun karet maupun kapling sawit. Rumah dari orang yang “tidak punya” tersebut terlihat hanya menggunakan kayu tua, tidak terlalu luas, lantainya menggunakan kayu, dindingnya juga kayu, dan fasilitas atau kepemilikan barangnyapun tak selengkap yang dimiliki oleh orang-orang kaya. Dalam hal ini saya mengambil contoh barang yang dimiliki oleh rumah dari keluarga Pak Aji (bukan nama asli) yang hanya satu lantai. Contoh barang yang dimiliki antara lain adalah lemari buku dan boneka, kursi plastik dan meja di ruang tamu, TV sharp 21 inch dan parabola, DVD Samsung, speaker aktif, kipas angin, lemari kaca untuk barang pecah belah, kulkas sharp, kompor gas, tempat air (dispenser non listrik), motor 2; Garuda dan Axelo, handpone 4, kamar mandi tanpa WC, 2 kamar tidur, senapan, dan sebagainya.
Contoh lain adalah kepemilikan barang-barang di rumah Bapak Ari (bukan nama asli) yang tidak memiliki kapling sawit. Rumahnya adalah 1 lantai, barang kepemilikannya diantaranya adalah televisi, laptop milik anaknya (seorang mahasiswa), lemari TV, lemari pakaian, lemari barang pecah belah, kursi ruang tamu, bunga hias dari sedotan, kulkas, mesin spit air, mesin listrik bergenerator, kompor gas, 4 kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi, dan lainnya.Meskipun tidak semuanya seperti ilustrasidiatas. Namun contoh diatas adalah sedikit gambaran perbedaan rumah milik orang “berada” dan rumah milik orang yang “biasa”. Saya kira contoh diatas cukup mewakili perbedaan tersebut.

Berbeda Itu Aneh
Menurut Durkheim dalam Damsar (2011:116), masyarakat terintegrasi karena adanya kesadaran kolektif (collective consciousness), yaitu totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama (1964:79). Ia merupakan suatu solidaritas yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan-kepercayaan dan pola normatif yang sama pula. Kesadaran kolektif ternyata tidak sama pada setiap masyarakat, tergantung pada tipenya. Durkheim membagi masyarakat atas dua tipe, yaitu masyarakat yang berlandaskan solidaritas makanik dan organik. Dalam masyarakat berlandaskan solidaritas mekanik, kesadaran kolektif meliputi keseluruhan masyarakat beserta anggotanya dan dengan intensitas tinggi seperti keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang dengan mengutamakan penggunaan hukum represif. Kesadaran kolektif dalam masyarakat berlandaskan solidaritas mekanik menuntun anggotanya untuk melakukan konsumsi yang tidak berbeda antara satu sama lain, seragam dalam cara dan pola konsumsi seperti pola pangan, sandang, dan papan. Penyimpangan terhadap cara dan pola konsumsi akan dikenakan sanksi hukuman represif dan kolektif seperti menggunjingkan sampai kepada mengucilkan seseorang tersebut.
Hal ini juga terlihat dalam masyarakat Sengkuang Daok. Rata-rata masyarakat disana menggunakan sandal jepit dan sandal karet. Lalu ketika kami, para mahasiswa berjalan berkeliling kampung menggunakan sandal gunung. Kami dianggap asing dan kebanyakan dari mereka tidak menjawab salam sapa yang kami lontarkan pada mereka. Selain itu status kami sebagai mahasiswapun tidak serta merta mereka terima sebagai sesuatu yang dianggap biasa. Masyarakat masih menganggap kami sebagai orang yang berbeda dengan mereka dan cenderung malu untuk berhadapan dengan kami, bahkan setelah beberapa minggu kami disana.
Hal itu tidak hanya dialami kami, mahasiswa dari Jawa. Di Sengkuang Daok rata-rata remajanya adalah berpendidikan sampai SMP atau SMA saja, sedikit sekali yang melanjtukan sampai ke perguruan tinggi. Kesadaran kolektif mereka mengatakan bahwa, masyarakat disana tidak perlu bersekolah tinggi karena ujung-ujungnya adalah untuk mencari pekerjaan, sedangkan pekerjaan yang paling nyaman disana adalah menjadi petani sawit yang tidak membutuhkan ijasah perguruan tinggi. Namun sedikitnya terdapat 9 mahasiswa di Sengkuang Daok, terdiri dari 4 laki-laki dan 5 betina³. Diantara remaja yang lain, ke sembilan mahasiswa tersebut memiliki pergaulan tersendiri dengan remaja lain. Apabila mereka sedang berkumpul tak jarang mereka suka digosipkan oleh remaja lain, mereka dianggap sebagai orang yang sok sekolah tinggi, namun ujung-ujungnya juga akan kembali jadi petani sawit atau menoreh karet di kampung. Bahkan Nita, salah seorang mahasiswa tersebut hampir tidak memiliki teman ketika sedang pulang kampung. Dia lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah untuk membantu pekerjaan ibunya daripada berkumpul bersama temannya di Batu. Menurut Nita, bergaul dengan remaja disini tidak membuat bertambahnya wawasan, namun malah akan menjerumuskan pada hal-hal negatif karena topik yang dibicarakan lebih sering adalah hal-hal negatif.

 


³ Istilah orang Sengkuang Daok untuk menyebutkan wanita atau perempuan
Terang saja, sebagian remaja Sengkuang Daok adalah pengkonsumsi arak. Mereka mendapatkan uang dari bekerja menjadi buruh, ada juga mereka yang masih meminta uang orang tua namun uangnya dibelikan barang tersebut. Perkumpulan mereka biasanya adalah di batu. Rata-rata dari mereka adalah memiliki motor dan tidak bersekolah. Kebanyakan dari mereka berhenti di tengah jalan sekolahnya atau lulusan SMP. Mereka berkumpul setiap sore dari jam 4 sampai jam setengah 6. Setelah isya sekitar jam 7 mereka berkumpul lagi di tempat yang sama. Disana mereka mengobrol, merokok, dan mengkonsumsi obat-obatan ataupun mabuk.Meskipun dalam perkumpulan tersebut tidak semuanya adalah pengkonsumsi arak.Hal tersebut adalah sesuatu yang dianggap biasa oleh masyarakat Sengkuang Daok.
“Orang tua mereka bukannya tidak melarang anaknya melakukan hal tersebut, namun karena para orang tua sudah tidak mampu lagi bagaimana caranya mengajari mereka”, kata Bandi, salah seorang remaja Sengkuang Daok.
Selain itu, kebiasaan lain orang Sengkuang Daok adalah mandi di sungai. Meskipun di rumah mereka (bagi sebagian rumah) terdapat kamar mandi, namun bagi masyarakat Sengkuang Daok mandi di sungai bukanlah suatu keadaan yang “memaksa” melainkan adalah cara mereka agar berbaur dengan alam, bertemu dengan orang-orang disekitarnya. Khususnya untuk rumah yang berada di jalan laut. Jadi barang siapa yang tidak mandi di sungai maka dia dianggap sebagai orang yang sombong dan orang itu akan digunjingkan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh adalah seorang guru di SD N 35 Sengkuang Daok yaitu bapak Suparman (bukan nama asli). Beliau dan keluarganya tak sekalipun pernah mandi di sungai. Beliau lebih memilih mandi di kamar mandi rumah karena beliau jarang memiliki teman yang akrab di lingkungan tempat tinggalnya. Selain itu beliau dan istrinya juga bukan orang Melayu, melainkan adalah orang Jawa. Oleh karena itulah mungkin tidak terbiasa mandi di sungai. Beliau lebih memilih tidur disaat orang-orang meributkan sesuatu diluar. Kegiatannya diluar hanyalah ketika mengajar dan sholat di masjid. Selain itu dihabiskan bersama keluarganya di rumah atau pergi ke Meliau untuk berbelanja atau mengobati anaknya yang sering sakit-sakitan. Oleh karena itu pulalah keluarganya seperti teralienasi oleh lingkungannya. Pak suparman juga terlihat membatasi pergaulan anaknya. Anaknya sekarang masih duduk di kelas 3 bangku sekolah dasar. Disaat anak lain seusianya bermain gasing, berkumpul dengan temannya, sudah bisa mengendarai motor kesana kemari. Anak Pak suparman terlihat lebih sering menyendiri, bermain sepeda, dan hanya bermain di sekitar rumahnya saja. Lingkungan anak-anak sekitar di Sengkuang Daok dinilai buruk oleh Pak Suparman. Beliau rencananya juga akan menyekolahkan anaknya di Meliau atau di pondok pesantren setelah lulus SD nanti.
Simpulan
Pekerjaan masyarakat Sengkuang Daok sangat beragam. Keberagaman tersebut menghasilkan beberapa perbedaan dalam berbagai hal, salah satunya adalah konsumsi. Perbedaan konsumsi antara keluarga pemilik kapling dan keluarga yang tidak memiliki kapling sawit bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Misalnya dilihat dari menu yang dimakan pada saat berbuka puasa maupun ketika sahur. Meskipun jenis makanannya sama, namun keragaman dan jumlahnya berbeda. Masyarakat kelas bawah cenderung lebih sederhana dalam mengkonsumsi makanan dan minuman dibandingkan masyarakat kelas atas. Namun ada satu hal menarik dari kebiasaan konsumsi masyarakat Sengkuang Daok yaitu, baik masyarakat kelas bawah maupun masyarakat kelas atas, mereka tidak bisa lepas dari minuman rasa-rasa baik minuman penyegar maupun sirup. Selain itu, kopi, teh, dan coklat adalah minuman yang tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat setiap harinya. Dilihat dari keseharian mereka menghabiskan waktu, pemilik kapling sawit lebih santai dalam menjalani hidup. Namun bagi mereka yang tidak memiliki kapling, mereka harus bekerja keras dari petang hingga siang.
Digambarkan bagaimana enaknya hidup sebagai orang yang memiliki kapling sawit. Dengan demikian semakin lama masyarakat akan berusaha untuk memiliki kapling sawit. Orang-orang yang sudah memiliki kapling sawitpun akan terus menambah lahannya sebanyak mungkin. Dengan kondisi tersebut, harga kapling sawitpun akan semakin mahal karena diminati oleh banyak orang. Sehingga masyarakat kelas atas akan semakin kaya dengan menambah koleksi kapling sawitnya dan masyarakat kelas bawah butuh waktu lama untuk bisa naik tingkat secara perekonomian karena harga kapling sawit yang semakin mahal dan hanya dijangkau oleh kalangan berduit saja. Meskipun demikian, banyak masyarakat yang telah memiliki kapling sawit tetapi juga memiliki kebun karet. Bagi mereka, kebun karet masih berharga karena permintaan karet itu akan terus menerus ada, jadi setiap haripun kita bisa menjual karet.



Daftar Pustaka
Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana Krenada Media Group
Haryanto, Sindung. Sosiologi Ekonomi. Jogjakarta: AR-RUZZ Media

0 comments:

Post a Comment