“Apabila
dibilang cukup, ya cukup. Kalau dibilang tidak cukup, ya tidak cukup. Tapi ya
dicukup-cukupkan sajalah”, kata seorang yang tidak memiliki kapling sawit dan
lahan karet saat ditanya mengenai penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
“Banyak
warga Sengkuang Daok terutama ibu-ibu yang memiliki simpanan emas dan perhiasan
lainnya. Emas adalah buah kerja keras mereka sebagai petani sawit. Mereka juga
akan terus berusaha untuk membeli kapling sawit lagi”, kata seseorang yang
memiliki lahan karet.
“Kapling
Sawit adalah investasi masa depan untuk keluarga kami”, kata salah seorang
pemilik kapling sawit.
¹
Tempat bongkar muat buah sawit dan barang-barang, tempat penyeberangan dari PT.
Bintang Harapan Desa (BHD) ke Meliau.
Globalisasi
membawa dampak yang serius di berbagai aspek kehidupan. Baudrillard (2004) dalam Sindung (2011:163) mengidentifikasikan
bahwa tumbuhnya masyarakat konsumsi sebagai salah satu dampak dari globalisasi.
Di era ini, dimana batas-batas wilayah seperti terkaburkan oleh kecanggihan
teknologi, informasi, dan komunikasi membuat keseragaman mengenai konsep
bagaimana gaya hidup yang “dianggap modern dan sesuai” dengan kehidupan manusia
masa kini. Dalam masyarakat konsumsi, terdapat kecenderungan orang membeli
barang bukan karena nilai kemanfaatannya, melainkan karena gaya hidup (life style), demi sebuah citra yang
diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan mode lewat televisi, tayangan sinetron,
acara infotainment, dan berbagai
media lain. Konsumen pada dasarnya tidak membeli produk, tetapi citra (image). Dalam berbelanja barang, tujuan
utamanya bukan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan lebih sebagai sarana untuk
mengkonsumsi tanda (sign), yaitu
untuk meraih pertanda (signified)
berupa mendapatkan gengsi dan pengakuan sosial. Disini nilai guna barang telah
bergeser menjadi nilai tanda barang, yaitu untuk mendapatkan atau menaikkan
citra pribadi agar dianggap “modern”.
Konsumsi
dan gaya hidup erat kaitannya dalam kehidupan masyarakat. Konsumsi terhadap
suatu barang menurut Weber ([1922] 1978), merupakan gambaran gaya hidup
tertentu dari kelompok status tertentu. Konsumsi terhadap barang merupakan
landasan bagi penjenjangan dari kelompok status. Dengan demikian ia dibedakan
dari kelas yang landasan penjenjangannya adalah hubungan terhadap produksi dan
perolehan barang-barang (Damsar, 2002:121).
Menurut
Don Slater (1997) dalam Damsar (2011:113), konsumsi adalah bagaimana manusia
dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya berhubungan dengan sesuatu
(dalam hal ini material, barang simbolik, jasa atau pengalaman) yang dapat
memuaskan mereka. Berhubungan dengan sesuatu yang dapat memuaskan mereka dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti menikmati, menonton, melihat,
menghabiskan, mendengar, memperhatikan, dan lainnya. Jadi pengertian dari
Slater tersebut, sesuai dengan istilah mengkonsumsi, seperti yang dikutip
Featherstone (2001) dari Raymond Williams, sebagai merusak (to destroy), memakai (to set up), membuang (to waste), dan menghabiskan (to exhaust).
Dengan
definisi seperti yang dikemukakan Slater tersebut maka konsumsi mengacu kepada
seluruh aktifitas sosial yang orang lakukan sehingga bisa dipakai untuk
mencirikan dan mengenali mereka di samping apa yang mereka “lakukan” untuk
hidup (Chaney, 2004). Dengan demikian, tindakan konsumsi tidak hanya dipahami
sebagai makan, minum, sandang, dan papan saja tetapi juga harus dipahami dalam
berbagai fenomena dan kenyataan berikut: menggunakan waktu luang, mendengarkan
radio, menonton televisi, bersolek atau berdandan, berwisata, menonton konser,
melihat pertandingan olahraga, menonton randai, membeli komputer untuk mengetik
tugas kuliah atau untuk mencari informasi, mengendarai kendaraan, membangun
rumah tempat tinggal, dan lain sebagainya.
Menengok Sengkuang Daok
Sengkuang
Daok adalah salah satu dusun yang ada di desa Kuala Buayan, kecamatan Meliau,
kabupaten Sanggau. Nama Sengkuang Daok sendiri diambil dari nama buah khas
dusun tersebut, yaitu buah sengkuang. Menurut cerita masyarakat setempat,
sengkuang daok adalah salah satu jenis buah sengkuang yang dulu banyak tumbuh
di daerah tersebut, oleh karena itu masyarakat menamai dusun mereka dengan nama
Sengkuang Daok. Dusun ini dapat dijangkau dari kota Pontianak menggunakan perahu
ketek-ketek melalui sungai Kapuas
selama kira-kira 22 jam perjalanan. Atau dapat pula digunakan kendaraan
bermotor melalui jalur darat dengan membutuhkan waktu selama tiga sampai empat
jam perjalanan. Apabila dijangkau dari pusat Kabupaten Sanggau, dapat digunakan
kendaraan bermotor dengan memakan waktu selama dua sampai tiga jam perjalanan.
Dari kecamatan Meliau, Sengkuang Daok dapat dijangkau dengan kendaraan bermotor
melalui jalur darat dengan waktu kurang lebih selama satu jam dengan menyeberang
sungai Kapuas menggunakan sampan yang ada di tempat-tempat penyeberangan di BHD
logistik atau di Desa Kuala Buayan setelah itu melewati jalan poros dan hutan
sawit di kanan kiri jalan. Atau apabila air sungai sedang pasang, dapat pula
digunakan sampan dari Meliau ke Sengkuang Daok atau sebaliknya melalui jalur
air, yaitu melalui sungai Boyan dengan memakan waktu satu sampai dua jam
perjalanan. Selanjutnya apabila dari pusat desa Kuala Buayan, dusun Sengkuang
Daok dapat dijangkau menggunakan motor dengan waktu kurang lebih selama tiga
puluh menit melalui jalur darat. Apabila menggunakan jalur air, melalui sungai
Buayan dapat dijangkau dengan sampan dengan membutuhkan waktu selama 30 menit.
Namun apabila musim kemarau dan air sedang surut, jalur air tidak dapat
digunakan karena banyak sampah-sampah atau kayu yang ada di tengah sungai
sehingga menghalangi perjalanan menggunakan sampan.
Dusun
Sengkuang Daok dipimpin oleh seorang kepala dusun (kadus) yaitu Bapak Rudi.
Beliau menjadi kepala dusun di Sengkuang Daok sejak bulan November 2011. Di
Sengkuang Daok terdapat empat rukun tetangga (RT) yaitu terdiri dari, RT 12
yang diketuai oleh bapak Sa’i, RT 13 yang diketuai oleh bapak Muhairin, RT 14
yang diketuai oleh bapak Agus Susanto, dan RT 15 yang diketuai oleh bapak Idil
Buska. Khusus di RT 12, tempatnya agak terpisah jauh dengan RT lainnya di
Sengkuang Daok, kira-kira sekitar 2 kilometer dari perkampungan Sengkuang Daok.
RT 12 menempati barak kilometer 3 atau sering dikenal dengan sebutan KM 3. Barak
KM 3 adalah tempat tinggal yang disediakan oleh perusahaan BHD (Bintang Harapan
Desa) bagi karyawannya. Barak ini berada di pinggiran jalan poros atau di
tengah-tengah perkebunan sawit divisi I dan divisi II. Disebut KM 3 karena
lokasinya tepat tiga kilometer dari logistik perusahaan BHD.
Di
tahun 2012, dusun Sengkuang Daoktercatat memiliki 201 KK (kepala keluarga) dan
memiliki jumlah penduduk sebanyak 681 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 354
jiwa dan perempuan sebanyak 327 jiwa. Di dusun ini memiliki komposisi penduduk
yang beragam. Antara lain adalah terdiri dari berbagai suku bangsa, yaitu
Melayu sebagai suku bangsa mayoritas, Dayak, Jawa, Nusa Tenggara, Batak, Sunda,
dan sebagainya. Selain itu juga terdiri dari agama Islam, Katholik, Kristen,
dan Hindu. Pekerjaan masyarakat di Sengkuang Daok adalah sebagai petani sawit,
petani karet, buruh, pedagang, tukang, pegawai negeri sipil (PNS), dan lain
sebagainya. Namun hampir semua masyarakat di Sengkuang Daok memiliki kapling
sawit atau kebun karet.
Di Dusun Sengkuang Daok terdapat
satu komplek gedung sekolah, yaitu sekolah dasar negeri 035 Sengkuang Daok yang
memiliki tujuh ruang. Di sebelah barat sekolah terdapat lapangan olah raga
berupa lapangan sepak bola dan lapangan Volly. Ada juga lapangan bulu tangkis
di depan rumah Pak RT yaitu, Pak Muhairin yang letaknya tidak jauh dari
lapangan sepak bola. Di sebelah barat lapangan sepak bola terdapat makam untuk
umum. Dusun ini dilalui oleh sungai Buayan. Masyarakat sekitar sering
menyebutnya sebagai sungai Boyan. Di Sengkuang Daok juga terdapat Masjid,
mushola, dan gereja. Arah mata angin di dusun ini lebih dikenal dengan istilah
darat, laut, hulu, dan hilir. Arah darat untuk menunjukkan arah selatan, arah
laut untuk menunjukkan arah utara, arah hulu untuk menunjukkan arah timur, dan
arah hilir untuk menunjukkan arah utara. Oleh karena itu, disini terdapat dua
jalan, yaitu jalan laut dan jalan darat atau jalan belakang. Jalan laut adalah
jalan yang beriringan dengan sungai Boyan. Sedangkan jalan darat atau sering
juga disebut jalan belakang adalah jalan dari lapangan menuju jalan poros (LKPJ
Desa Kuala Buayan tahun 2012).
Di
Sengkuang Daok, listrik hanya menyala dari jam 5 sore sampai dengan jam 6 pagi
pada hari senin sampai sabtu. Sedangkan pada hari minggu listrik menyala dari
jam 5 sore sampai dengan jam 12 siang.
“...Bip...bip...bip...”
Bunyi pertama adalah “Bibbib,, bibbib,,
bibbibb,,” lewat kira-kira pukul 09.40 WIB, menggunakan motor Vega putih,
orangnya memakai topi. Biasanya berhenti di depan rumah mamak Erpan, sebelum
jembatan kecil Sengkuang Daok, sebelum masjid Sengkuang Daok, di sekitar rumah
Hendra, dan lain-lain terkadang berubah-ubah.
Selanjutnya yang datang ke dua hanya
terdengar suara knalpot motor Jupiter MX warna birunya saja, tak ada suara
lain. Lewat sekitar pukul 09.41 WIB. Adalah orang Sengkuang Daok, tidak
membunyikan klakson, tetapi langsung berhenti ditempat-tempat langganannya
seperti di depan rumah Erpan, di depan warung pak Rabuansyah, di depan rumah
pak Supii, di depan rumah Hendra, dan lain-lain terkadang berubah. Barang yang
dibawa adalah sayuran, jagung, agar-agar, tahu, ikan, bawang, buncis, labu, dan
lain-lain namun tidak ada jajanannya.
Bunyi yang ke 3 adalah “bip bip bip
bip,,,, bip bip bip bip,,,,”. Lewat sekitar pukul 10.25 WIB. Menggunakan motor
Jupiter Z warna biru. Biasanya berhenti di depan warung pak Rabuansyah, di
depan rumah bang I, di sekitar rumah Datok Erpan yang di hulu, dan lain-lain
terkadang ganti-ganti.
Bunyi yang ke empat adalah “Bip,,, bip,,,
bip,,,” jeda agak lama. Lewat sekitar pukul 12.00 WIB. Menggunakan motor
Vega ZR warna merah. Biasanya berhenti di daerah sebelum masjid, setelah
masjid, dan daerah lapangan.
Ke empat bunyi tersebut adalah suara
klakson motor yang dibunyikan oleh tukang sayur sebagai tanda kedatangan mereka
untuk pelanggan-pelanggan setianya. Setiap hari masyarakat Sengkuang Daok
khususnya ibu-ibu selalu menunggu kedatangan mereka untuk berbelanja segala
kebutuhan dapur sehari-hari. Biasanya ibu-ibu yang memiliki kapling sawit atau
yang tidak menoreh akan bertemu dengan ke empat penjual sayur tersebut karena
mereka tidak harus kemana-mana untuk mencari rupiah. Ibu-ibu pemilik lahan
sawit menghabiskan waktunya dirumah untuk mengurus keperluannya di rumah setiap
hari. Berbeda dengan ibu-ibu yang setiap hari pergi menoreh, mereka biasanya
hanya bertemu dengan penjual sayur nomor tiga dan atau empat saja karena sejak
pagi buta hingga kira-kira jam 10 sampai paling lama jam 12 mereka harus
menoreh getah karet di kebunnya. Belum lagi bagi ibu-ibu yang suka mengambil
jamur atau mengambil sayuran di hutan, mereka harus pulang lebih lama dari yang
lain. Ibu-ibu biasanya berjalan kaki atau membonceng suaminya naik motor untuk
sampai pada kebun karetnya. Sehingga ada yang harus pulang lebih lama dari yang
lain, tergantung jarak dari rumah ke kebun karet mereka. Selain itu, setelah
menoreh sebagian ibu-ibu juga ada yang memancing ikan di sungai Boyan sebagai
pelengkap lauk mereka.
Sebenarnya terdapat 6 penjual sayuran di
Sengkuang Daok. Namun 1 penjual sudah pulang ke Jawa karena menikah. Mungkin
nanti setelah lebaran penjual tersebut kembali berjualan. Sementara penjual
nomor 6 adalah penjual sayuran yang datang di sore hari. Diantara ke 6 penjual
tersebut, 3 diantaranya sudah berjualan sejak lama yaitu penjual nomor 1, 2, 4,
dan 6. Sedangkan 2 lainnya baru beberapa bulan berjualan di Sengkuang Daok.
Perbedaan diantara kelima penjual tersebut adalah waktu lewat, karena waktu
lewatnya yang berbeda maka masing-masing penjual sayur memiliki pelanggannya
sendiri-sendiri. Karena masyarakatnya ada yang bekerja dari pagi sampai siang,
ada yang di rumah, ada yang kadang bekerja kadang tidak, jadi mereka bertemu
dengan tukang sayur yang jadwalnya bertepatan dengan waktu mereka di rumah.
Sehingga penjual sayuran memiliki pelanggan, jadwal keliling, dan daerah
pemberhentian yang berbeda-beda. Selain itu mereka memiliki cara memanggil
pelanggan yang berbeda, yaitu dengan bunyi klakson yang berbeda, barang yang
dijualpun ada juga yang beda, bahkan terkadang harga yang dijual juga berbeda.
Di depan rumah Pak Muhairin terdapat
warung milik pak khairullah. Disana
menjual berbagai macam makanan dan minuman ringan dan juga bensin. Makanan yang
dijual diantaranya adalah mizone, ale-ale, kratingdaeng, minuman bersoda
seperti fanta dan sprite, es, pop ice, marimas, taro, ciki-ciki, rokok,
kerupuk, roti bungkusan, permen, extra joss, agar-agar, dan makanan kecil
lainnya. Warung pak Khairullah buka mulai jam setengah 8 pagi sampai maghrib,
namun terkadang di malam hari juga masih buka. Warung yang serupa juga terdapat
di sebelah lapangan sepakbola Sengkuang Daok, sementara itu warung yang lebih
besar juga ada, yaitu warung milik Pak Rabuansyah. Warung Pak Rabuansyah juga
menerima pembelian sawit dari pekarangan rumah masyarakat di Sengkuang Daok,
warung ini juga sebagai pengepul karet milik warga.
Selain di sekitar dusun, masyarakat
sekitar juga membeli kebutuhan di Pasar Meliau. Disana terdapat penjual
berbagai macam keperluan rumah tangga. Seperti perlengkapan dan peralatan
rumah, perlengkapan dan peralatan dapur, toko HP, konter, dan kamera, berbagai
macam makanan dan minuman, mainan, petasan, berbagai jenis baju, perlengkapan
sekolah, warnet dangame center, dan sebagainya.
Di Sengkuang Daok juga terdapat tukang
jualan barang pecah belah yang lewat setiap minggu di sekitar desa Kuala
Buayan. Mereka rutin berkeliling di Sengkuang Daok sebulan sekali, biasanya
setelah gajian seperti tanggal 1 atau 2 atau mendekati tanggal tersebut. Mereka
berjumlah 2 orang dan berjualan dengan menggunakan bak terbuka. Barang yang
dijual adalah bak, ember, gelas (plastik dan kaca), mainan anak (truk mainan
dan mainan plastik lain), peralatan dapur (teko, serok, keranjang plastik,
panci, piring, wajan, sendok, cangkir, toples), sandal (plastik dan kulit),
gantungan baju, wadah buah, keranjang, tudung saji, centong, peralatan mandi,
botol minuman anak-anak, wajan, magicom, panci fast food, dan lainnya. Barang-barang
tersebut adalah pesanan atau paketan dari Pontianak lewat ketek-ketek.
Sumber konsumsi lain masyarakat
Sengkuang Daok adalah berasal dari pekarangan rumahnya. Namun orang di
Sengkuang Daok, baik yang memiliki kapling ataupun yang tidak memiliki kapling,
masih membiarkan lahan kosong yang ada di sekitar rumah mereka dengan tidak
menanami tanaman apapun kecuali tanaman itu tumbuh sendiri. Ada indikasi bahwa
orang Melayu tidak terbiasa menanami lahan mereka dengan sayur-sayuran. Berbeda
dengan halaman rumah milik orang jawa, disekitarnya terdapat tanaman dapur
seperti lombok, singkong, dan yang lainnya.
Beda Kemampuan, Beda Kemauan
Mayoritas
masyarakat Sengkuang Daok beragama islam. Seperti kita tahu, di bulan puasa
umat islam diwajibkan untuk berpuasa dari terbitnya matahari hingga terbenamnya
matahari. Kondisi udara Sengkuang Daok yang panas membuat puasa disana terasa
berat. Saat menjelang buka puasa adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh
kebanyakan orang disini. Bahkan sudah sejak pagi ketika ibu-ibu saling bertemu
di tempat penjual sayur, membicarakan menu apa yang akan dihidangkan dalam buka
puasa sore nanti. Ibu-ibu di Sengkuang Daok biasanya membeli keperluan ataupun
makanan mentah untuk menu buka puasa sejak pagi, yaitu sekitar jam 9 sampai jam
12, ketika penjual sayur datang. Makanan yang dijual oleh tukang sayur tersebut
antara lain adalah bahan kolak (buah bululuk
(kolang-kaling), cendol, cincau, agar-agar), ikan (bawal, tuna), sayuran
(pare, kol, cabe, tauge, terong, jagung, bawang, tomat, capcay, sawi, tauge, buncis),
buah-buahan (semangka, pepaya, jeruk, labu), tahu, kulit sapi, tempe, sosis,
ayam, teri, sagu, jahe, susu, terasi, wafer, bakso, sabun, dan lain sebagainya.
Biasanya
orang-orang kelas atas, yaitu pemilik lahan sawit mengeluarkan uang antara Rp.
20.000 sampai Rp. 50.000 dalam sehari. Namun tergantung juga pada jumlah
anggota keluarga dalam satu rumah. Contohnya adalah Mamak Erpan dengan anggota
keluarga sebanyak 5 orang, pada tanggal 19 Juli 2013 Mamak mengeluarkan uang
sebanyak 45.000 untuk membeli 1 kilogram ayam dan Rp. 20.000 untuk membeli
tauge, tahu, dan kol. Pada tanggal 20 Juli, Mamak menghabiskan Rp. 45.000 untuk
membeli cincau, kolang-kaling, dan capcay. Pada tanggal 29 Juli, mamak
mengeluarkan uang sebanyak Rp. 35.000 untuk membeli ikan bawal dan Rp. 32.000
untuk membeli tahu, kentang, dan kwetiau. Sementara itu untuk keperluan dapur
lain yang belum lengkap Mamak Erpan biasanya mengambil di pekarangan rumah atau
di hutan. Contohnya adalah berbagai sayuran seperti sayur pakistebu, pisang,
jamur, daun singkong, daun pepaya, dan sebagainya.
Sementara itu, untuk keluarga yang tidak
memiliki sawit, sebagai contoh adalah keluarga Dede (bukan nama asli) dengan
jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang, biasanya mengeluarkan uang antara Rp.
10.000 sampai Rp. 30.000 untuk membeli keperluan makan sehari. Biasanya mereka
membeli cincau atau agar-agar atau cendol, dan sayuran atau lauk. Mereka juga
sering memanfaatkan hasil tanaman-tanaman di sekitar rumah atau bahkan sering
juga memancing untuk melengkapi menu makan.
Selain tukang sayur yang datang setiap
pagi, setiap sore sekitar jam 4 juga ada orang yang berkeliling kampung
Sengkuang Daok menggunakan motor yang menjual makanan untuk buka dan juga
menjual beberapa sayuran. Biasanya yang dijual adalah semangka, tomat, tahu,
mentimun, sosis, tauge, buncis, bakpao, gelang, sawi, labu, sayuran, jahe, dan lain
sebagainya. Ada juga ibu-ibu yang berkeliling dengan jalan kaki membawa tampah
atau termos es yang menjual Apam
(martabak), tape, dan cendol untuk menu berbuka puasa.Selain itu ada juga penjual
buah labu dan semangka.
Untuk keperluan dalam satu bulan biasanya
masyarakat berbelanja di pasar Meliau ataupun di desa Kuala Buayan. Contohnya
adalah keluarga Mamak Erpan (memiliki lahan sawit), biasanya membeli di desa
Kuala Buayan untuk keperluan setengah bulan. Contohnya adalah pada tanggal 22
Juli 2013, keluarga ini membeli keperluan di Kuala Buayan yang antara lain
adalah fortune, racun nyamuk baygon bakar, baygon semprot, kopi, kaleng susu
enak, sabun giv, sabun cuci, 1 kardus Indomie, sabun cuci pakaian, pasta gigi,
garam, gula, telur, 1 jerigen minyak goreng, beras, jajanan dan lainnya. Uang
yang dikeluarkan untuk belanja barang-barang tersebut adalah Rp. 547.000. Namun
untuk 1 bulan keluarga ini hampir mengeluarkan antara 2 juta sampai 3 juta
untuk keperluan konsumsi dan perlengkapan rumah.
Sedangkan untuk keluarga Dede yang
notabene adalah keluarga yang hanya memiliki kebun karet sebagai satu-satunya
sumber penghasilan, pergi sebulan sekali ke Kuala Buayan untuk menjual karet
sekalian berbelanja kebutuhan bulanan seperti beras, gula, kopi, teh, coklat,
telur, tepung, dan lain-lain. Kalau perlengkapan dapurnya ada yang habis
sebelum jadwal belanja, biasanya Dede pergi ke Buayan untuk membeli lagi.
Pendapatan keluarga Dede dari menjual karet setiap bulannya adalah sekitar 3
juta. Sedangkan mereka menghabiskan uang untuk belanja dalam satu bulan
biasanya hampir Rp. 1.700.000. Belum lagi untuk belanja harian seperti membeli
sayur dan keperluan dapur, rata-rata setiap harinya menghabiskan uang Rp.
10.000. Jadi kalau di total, pengeluarannya antara 2 juta sampai 2,5 juta dalam
satu bulan.
Menu
makanan yang dikonsumsi pada saat berbuka puasa dan sahur oleh keluarga pemilik
kapling juga nampak terjadi perbedaan dengan keluarga yang tidak memiliki lahan
sawit. Biasanya untuk berbuka puasa, masyarakat Sengkuang Daokpada umumnya
menjalankan tiga sesi hidangan, yaitu:
1. Hidangan
pembuka (takjil)
Adalah
hidangan yang disajikan saat berbuka puasa (takjil) untuk membatalkan puasa,
biasanya menunya adalah Es cincau, bakwan, kurma, dan makanan kecil lainnya
yang manis-manis.
2. Hidangan
inti (makan besar)
Adalah
hidangan yang disajikan setelah berbuka puasa atau setelah sholat maghrib. Biasanya
menunya adalah Nasi, sayuran, gorengan, ikan, ayam, mie, air putih dan
sebagainya.
3. Hidangan
penutup (cuci mulut)
Adalah
hidangan yang disajikan setelah makan besar, sebelum tarawih atau setelahnya.
Menunya biasanya adalah teh, kopi, coklat, kolak pisang, buah-buah kecil dan
lainnya. Apabila hidangan penutupnya seperti kolak dan lainnya belum habis,
bisa dimakan lagi pada waktu sahur.
Perbedaan
konsumsi keluarga kelas pertama dan kelas kedua terletak pada jumlah ragam
sayur dan lauk dalam satu kali hidangan. Biasanya untuk keluarga pemilik lahan
sawit, mereka makan dengan minimal 2 jenis sayur dan minimal 2 jenis lauk dalam
satu kali hidangan. Sedangkan untuk keluarga yang tidak memiliki lahan sawit,
mereka makan dengan menu sederhana yaitu minimal 1 jenis sayur dan lauk.
Misalnya adalah menu buka puasa keluarga
Emi (tidak memiliki kapling sawit) pada tanggal 20 Juli 2013, yaitu kelapa muda
(tidak menggunakan es batu tapi menggunakan air dingin), kue tambi, dan air
putih. Menu makan malamnya adalah nasi, telur dadar, sozis tumis, sayuran, dan
es segar sari. Menu yang digunakan untuk makan sahur biasanya menggunakan menu
makanan yang sama dengan menu makan malam. Jadi mereka hanya memasak diwaktu
sore, di waktu sahur tinggal memanaskan saja. Menu sahur hari itu adalah nasi,
telur dadar, sosis, tumis, dan sayur. Minumannya biasanya adalah es rasa-rasa
(marimas, segar sari, kukubima, dan lain-lain).Menunya adalah nasi, kwetiau,
ikan pindang, dan es kukubima.
Menu berbuka di keluarga Dede (tidak
memiliki kapling sawit) pada tanggal 22 Juli 2013 adalah ketok ubi (singkong
direbus, ditumbuk, dan dicampur dengan gula dan kelapa parut), es campur
(cincau campur dengan cendol), dan gorengan. Menu makan malamnya adalah nasi
putih, ikan asin (balor), jerok pucok ubi (daun singkong permentasi), cabe
belacan (sambal terasi), tempoyak, dan lalap pucuk kunyit. Biasanya menu makan
malam ini dimakan lagi ketika makan sahur. Jadi pada saat sahur tinggal
memanaskan lauk ataupun membuat lauk sederhana dengan waktu yang cepat. Menu
sahurnya adalah nasi putih, ikan asin, jerok pucok ubi, cabe belacan, tempoyak,
dan lalap pucuk kunyit.
Menu berbuka puasa di keluarga Zul (memiliki
lahan sawit) pada tanggal 29 Juli 2013 antara lain adalah bakwan, pisang
goreng, dan es cendol. Menu makan malamnya antara lain adalah nasi, ikan nila
goreng, ayam goreng, sayur kangkung, timun, dan sambal terasi.Sementara itu,
untuk menu sahurnya kurang lebih hampir sama dengan menu makan malamnya.
Ongkos pulang. Ketika
itu saya mengobrol dengan bang Alek (bukan nama asli), tidak memiliki kapling
sawit.Beliau adalah orang Nganjuk, Jawa Timur. Menurut beliau orang Jawa
membutuhkan biaya banyak untuk mudik dan kembali lagi ke Kalimantan. Untuk
pulang ke Nganjuk, 1 orang kira-kira kalau di total membutuhkan uang sampai 5
juta karena daerahnya di pedalaman sehingga harus beberapa kali pindah
angkutan. Karena di keluarganya terdapat 5 orang anggota keluarga maka untuk
bisa pulang semua ke Nganjuk dan kembali ke Kalimantan membutuhkan uang 25
juta. Uang itu di gunakan untuk transportasi, transportasinyapun dihitung naik
kapal, kalau naik pesawat bisa lebih mahal lagi. Selain transportasi biaya
lainnya adalah untuk membeli oleh-oleh, memberi angpau untuk saudara-saudara
termasuk untuk orang tua, untuk makan selama di Jawa, dan lain-lain. Oleh
karena itulah selama 7 tahun ini bang Juki belum lagi mudik ke Jawa karena
harus berpikir ulang masalah uang. Untuk lebaran tahun ini pun keluarga Bang Alek
tidak mudik ke Jawa. Bahkan Bang Alek sudah merasa kalau Kalimantan adalah
rumahnya, jadi mau pulang kemana lagi kalau tidak ke rumahnya.
Pak
Harahap adalah orang Batak.Beliau dari Sumatra. Anggota keluarganya adalah 5
orang. Beliau memiliki kebun sawit dan menjadi penjual pupuk sawit. Untuk mudik
ke Sumatra juga dibutuhkan biaya yang banyak. Untuk keluarganya kira-kira membutuhkan
uang sekitar 5 jutaan per orang. Biasanya beliau kalau pulang ke Sumatra naik
pesawat. Keluarga Beliau setidaknya pulang ke Sumatra setahun sekali. Untuk
tahun ini rencananya beliau sekeluargapulang sebelum lebaran, naik pesawat.
Kehidupan
Pemilik Lahan
Sekitar
jam 5beberapa anggota keluarga bapak Muhairin terlihat sudah bangun tidur untuk
melakukan ibadah dan merebus air. Nampaknya sekitar jam enam Pak Muhairin dan
Datok Erpan kompak mengobrol sambil meminum kopi dan merokok di ruang tamu.
Inilah kebiasaan keluarga ini setiap pagi. Sekitar jam tujuh, mulai ada
beberapa tetangga yang bergabung untuk bersama-sama menikmati kopi. Ibu-ibu
memasak di belakang, sedangkan para bapak duduk di sofa sambil minum kopi di
ruang tamu. Setelah masakan dihidangkan, mereka sarapan bersama di ruang
belakang dengan menu yang cukup lengkap, yaitu nasi, sayuran (olahan kacang
tanah, mie, daun pepaya, dan lain sebagainya), lauk (berbagai jenis ikan,
telor, ayam, gorengan, dan lain sebagainya), terkadang terdapat buah-buahan,
minumannya adalah air putih. Setelah sarapan, biasanya anak-anak mandi, mereka
terlihat lebih suka mandi di sungai karena bisa sambil bermaindan berenang di
sungai. Sedangkan ibu-ibu biasanya mencuci piring dan juga mencuci pakaian.Untuk
yang rumahnya di sekitar jalan darat, biasanya mereka mandi dan mencuci di
rumah masing-masing namun kadang-kadang ke sungai, sedangkan untuk yang
rumahnya di sepanjang jalan laut mereka biasa mencuci dan mandi di sungai
meskipun terdapat kamar mandi di rumahnya. Sementara itu bapak-bapak
melanjutkan perbincangannya di ruang tamu.
Ketika
siang datang, udara di Sengkuang Daok menjadi sangat panas. Banyak orang
khususnya laki-laki yang membuka bajunya lalu merebahkan badannya di lantai
karena merasa kepanasan. Sementara itu ibu-ibu nampak memilih mengobrol dengan
tetangganya atau memilih berdiam di rumah dan tidur. Anak-anak terlihat asyik
bermain dengan teman lainnya dan mendengarkan MP3 atau bermain game yang ada di
Handpone nya. Rata-rata anak SMP disana
sudah memiliki HP meskipun tidak diperbolehkan untuk dibawa di sekolahannya.
Mereka makan siang pada jam satu siang dengan menu yang kurang lebih sama
dengan menu makan pagi. Terkadang ibu-ibu pergi ke hutan untuk mencari jamur
atau mencari buah di hutan.
Di
sore hari banyak orang tua dan pemuda yang berkumpul di rumah pak Muhairin
untuk bermain bulu tangkis bersama. Mereka bermain dari jam setengah empat
sampai hampir maghrib. Kebanyakan dari mereka yang bermain adalah orang-orang
yang memiliki lahan sawit dan tidak bekerja di pagi atau di siang harinya.
Sementara itu pemuda lainnya memilih untuk nongkrong
di batu². Mereka berduyun-duyun naik motor untuk menuju kesana. Mereka biasanya
menghabiskan waktu sorenya disana dengan mengobrol, merokok, memandangi orang
yang lewatdan menggodanya. Mereka tak akan pulang kalau belum maghrib atau
hujan datang.
Mulai
jam 5 sore listrik di rumah-rumah di Sengkuang Daok mulai beroperasi. TV,
musik, dan lampu pun serentak menyala di rumah-rumah Sengkuang Daok.Setelah itu
mereka mandi dan sejenak duduk di rumah. Setelah maghrib mereka kembali minum
kopi, teh, atau coklat dan dilanjutkan dengan makan malam. Menu makan malam
mereka biasanya adalah nasi, berbagai jenis sayur, lauknya biasanya berupa ikan,
dan berbagai jenis buah.Minumannya adalah es, teh, kopi, atau coklat. Setelah
makan malam mereka menonton TV sampai larut malam dan tidur.
²
Tempat berkumpul anak-anak muda Sengkuang Daok, letaknya di persimpangan
jembatan jalan poros menuju Sengkuang Daok, atau di ujung barat jalan darat
Sengkuang Daok.
Begitulah
kehidupan rumah tangga pemilik kapling sawit di hari-hari biasa. Mereka lebih
banyak menghabiskan waktu di rumah. Mereka pergi ke kapling sawit seminggu
sekali apabila memupuk dan memanen sawit saja. Itupun dibantu dengan beberapa
buruhnya. Selebihnya mereka hanya mengontrol saja.
Sementara
itu, kehidupan berbeda dijalani oleh keluarga yang tidak memiliki kapling sawit
atau yang bekerja menoreh karet. Sejak jam 5 pagi mereka harus pergi ke kebun
karet untuk menoreh. Biasanya mereka menggunakan motor bagi yang punya motor
atau berjalan kaki bagi yang kebun karetnya berada di pedalaman dan tidak dapat
dijangkau dengan kendaraan atau ada juga yang menggunakan sampan bagi yang
kebun karetnya berada di sekitar aliran sungai. Mereka bekerja seharian di
kebun dan baru pulang sekitar jam 11, 12, bahkan sampai jam 1, tergantung jarak
kebun karet dari rumah mereka. Untuk yang kebunnya jauh, mereka bisa
menghabiskan 1 jam perjalanan.Sampai di rumah mereka harus mencetak karet yang
masih cair untuk dibentuk menjadi persegi. Selesai mencetak karet, mereka mandi
lalu makan siang. Menunya lebih sederhana, biasanya adalah nasi, lauk, dan
sayur.Minumannya adalah air putih. Setelah itu mereka memilih untuk tidur siang
karena sudah letih bekerja dari pagi. Mereka rutin melakukan hal tersebut
apabila cuaca sedang bagus, kalau malamnya hujan mereka tidak menoreh, karena getah
karetnya akan bercampur dengan air. Mereka terkadang menghabiskan waktu paginya
dengan berdiam diri di rumah atau memilih untuk memancing ikan di sungai Boyan.
Seperti
yang sering dilakukan oleh keluarga Dede, baik Hendra, bang Dede, bang Ari,
maupun bapaknya semuanya sangat hobi mencari ikan di sungai. Setiap seminggu
sekali hampir pasti mereka mencari ikan. Mereka mengayangdi malam hari atau
memancing di siang hari. Mengayang adalah mencari ikan dengan menggunakan semeter atau tembakan manual menggunakan
tangan. Caranya adalah dengan menyelam mencari di sekitar kayu besar yang ada
sungai, biasanya ikan ada di sekitar kayu-kayu tersebut. Setelah menemukan
ikan, langsung ditembak menggunakan semeter. Biasanya hasil yang didapat dari
menyelam adalah ikan besar-besar, kalau pandai menyelam bisa dapat banyak.
Namun kalau mencari ikan di pinggiran menggunakan sampan dengan jaring atau
dengan memancingbiasanya hasilnya ikan kecil dan lebih sedikit. Biasanya mereka
menyelam dari jam 7 sampai jam 11 malam kalau di hari biasa. Tetapi kalau di
bulan puasa, mereka mulai dari setelah shalat tarawih sampai jam setengah 12.
Terakhir
bang Dede memancing di sungai boyan dari jam 9 sampai jam 1 siang mendapatkan tak
kurang dari 60 ekor ikan. Walaupun mereka mendapatkan banyak ikan namun ikan
hasil memancing maupun menyelam tidak pernah mereka jual. Mereka memancing
hanya untuk hobi saja, ikannya digunakan untuk lauk di keluarganya. Kebiasaan orang-orang
di Sengkuang Daok kalau memiliki sesuatu baik hasil sayur-sayuran, hasil
memancing, hasil ternak ayam, maupun tumbuh-tumbuhan di sekitar rumah lebih
sering digunakan untuk keperluan sehari-hari di rumah, tidak untuk dijual. Di
sekitar rumah Dede sendiri terdapat pohon durian, sirsak, pekawai, dan beberapa
sayuran. Keluarga Dede tidak pernah menjualnya, kalau ada orang yang berminat
membelinya terkadang malah diberikan secara gratis. Bahkan kalau pohon durian
atau rambutannya tidak berbuah, mereka justru membeli pada orang yang berjualan
keliling kampung ataupun membelinya di pasar.
Di
sore hari biasanya mereka ada yang bermain bulu tangkis, ada pula yang memilih
untuk di rumah atau mengambil beberapa hasil kebun mereka seperti buah kelapa,
pisang, dan lainnya. Di malam hari mereka duduk-duduk di rumah sambil menonton
TV ditemani kopi, teh, atau coklat. Setelah itu mereka makan malam dengan menu
yang hampir sama dengan menu makan siangnya. Setelah itu tidur dan besok pagi
mereka akan mengulangi serangkaian kegiatan hari tadi. Selain itu, adapula
warga yang mengisi malamnya dengan mengayang.
Di bulan puasa,kehidupan
keluarga pemilik lahan tak jauh berbeda dengan hari-hari biasa. Mereka makan
sahur sekitar jam 3 pagi, lalu menonton TV sampai jam 5 pagi, dan tidur
setelahnya. Mereka bangun sekitar jam 6 pagi dan menjalani aktifitas yang sama
dengan hari-hari biasa. Mereka juga ada yang tetap bermain bulu tangkis di sore
hari meskipun puasa. Buka puasa, lalu sholat tarawih, minum kopi, teh, atau
coklat, menonton TV dan tidur. Perbedaannya cuma ketika mereka bekerja, baik
memupuk ataupun memanen sawit, mereka tidak berpuasa karena dalam memanen sawit
dibutuhkan tenaga yang luar biasa. Karena tidak berpuasa, merekapun tidak
melaksanakan sahur. Mereka memanen sawit dari pagi sekitar jam 6 sampai
kira-kira jam 3 sore, tergantung banyaknya buah sawit yang dipanen.
Sementara
itu, kehidupan keluarga pemilik karet di bulan puasa nyaris tak berubah dari
hari-hari biasa, namun tetap berbeda dengan pemilik lahan sawit. Bagi yang
berpuasa, mereka sahur pada jam 3 pagi. Setelah sholat subuh, sekitar jam 5
mereka langsung berangkat ke kebun untuk menoreh karet. Mereka kadang tidak
berpuasa saat bekerja karena takut tidak kuat. Bekerja di kebun karet juga
membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Seseorang bahkan butuh makan lebih
banyak saat mereka harus bekerja di kebun karet.
Aktifitas
lain dijalani oleh orang yang memiliki hewan ternak. Biasanya adalah orang Dayak di Sengkuang Daok. Banyak dari mereka
yang beternak babi di rumahnya.Perempuan disana setiap sore mencari rumput di
hutan untuk makan ternak babi mereka. Mereka beramai-ramai bersama ibu-ibu
lain, berjalan kaki sekitar jam 4 sampai jam 5 sore. Membawa karung dan parang.
Ini
Rumah Orang Kaya
Rumah
adat etnik melayu adalah rumah panggung. Begitu juga rumah masyarakat Sengkuang
Daok yang notabene adalah beretnik melayu. Karena berbentuk panggung, maka
terdapat ruang kosong dibawah rumah tersebut. Tinggi panggungnya bisa mencapai
5 meter. Dulu digunakan oleh orang-orang untuk menumbuk padi. Selain itu secara
historis, asal-usul orang Melayu adalah orang yang berada di daerah hilir
sungai. Jadi rumahnya relatif bisa terkena banjir saat air sungai meluap. Oleh
karena itu pulalah rumah adat orang Melayu berbentuk panggung. Seluruh bangunan
rumahnya menggunakan kayu, kecuali atapnya yang menggunakan genteng, mulai dari
tangga dari tanah ke lantai satu, penyangganya, lantainya, sampai dindingnya,
semua menggunakan kayu. Namun seiring perkembangan jaman, rumah orang-orang
Melayu di Sengkuang Daok banyak yang sudah menggunakan keramik sebagai
lantainya, dindingnya menggunakan kayu lempeng yang dilapisi semen atau tembok,
meskipun rumah mereka tetap berbentuk panggung, namun tidak setinggi rumah
panggung orang-orang dulu. Tinggi rumah orang-orang Melayu di Sengkuang Daok
sekarang kira-kira hanya 1 meter. Panggungnyapun sudah beralih fungsi. Sekarang
bukan lagi digunakan sebagai tempat untuk menumbuk padi, melainkan tempat untuk
menyimpan barang-barang kecil seperti sapu, sepatu boot, bahkan ada juga yang
menggunakannya sebagai garasi motor, atau ada pula yang mengosongkan ruang
dibawah rumah tersebut.
Max
Weber dalam Economy and Society
menyatakan bahwa tindakan konsumsi dapat dikatakan sebagai tindakan sosial
sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku dari individu lain dan oleh
karena itu diarahkan pada tujuan tertentu (Weber [1922] 1978:4). Sedangkan
tindakan sosial itu sendiri, menurut Weber, terdiri dari: satu, zweckrationalitat/instrumentally rational
action/tindakan rasional instrumental yaitu tindakan yang berdasarkan
pertimbangan yang sadar terhadap tujuan tindakan dan pilihan dari alat yang
dipergunakan. Dua, wertrationalitat/value
rational action/ tindakan rasional nilai, yaitu suatu tindakan di mana
tujuan telah ada dalam hubungannya dengan nilai absolut dan akhir bagi
individu. Tiga, affectual type/
tindakan afektif, yaitu suatu tindakan yang didominasi perasaan atau emosi
tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar seperti cinta, marah,
suka, atau duka. Empat, traditional
action/ tindakan tradisional yaitu tindakan yang dikarenakan kebiasaan atau
tradisi (Damsar, 2011:120-121).
Berdasarkan
hal tersebut,
pembangunan
rumah panggung orang-orang Melayu di Sengkuang Daok sekarang tidak lagi
berdasarkan tindakan rasional instrumental/ zweckrationalitat/instrumentally
rational action. Melainkan adalah tindakan tradisional / traditional action. Karena mereka tidak
lagi membangun rumah panggung dengan alasan untuk menumbuk padi atau untuk
terhindar dari banjir. Mereka membangun rumah panggung karena mengikuti tradisi
leluhurnya meskipun fungsi dari rumah panggung itu beralih. Bahkan beberapa
wilayah di Sengkuang Daok, khususnya di daerah hilirmasih sering terkena banjirdari
luapan sungai Boyan yang tingginya bisa mencapai satu meter dari permukaan
tanah meskipun rumah mereka adalah rumah panggung.Analisis ini diperkuat dengan
dibangunnya rumah panggung di daerah huluyaitu daerah yang tidak terkena banjir
karena permukaan tanahnya lebih tinggi dari pada yang di hilir.
Namun
tidak semua masyarakat Sengkuang Daok membangun rumah panggung. Salah satunya
adalah rumah Bang No, bahkan satu-satunya rumah yang bukan rumah panggung di sepanjang
jalan laut di Sengkuang Daok. Beliau adalah orang Melayu, namun bentuk rumahnya
mengikuti bentuk rumah orang-orang modern, yaitu dibangun dengan lantai
keramik, batu bata sabagai dindingnya, dan genteng sebagai atapnya. Tinggi
lantainya bahkan hampir sama dengan tanah. Padahal letaknya tepat menghadap ke
sungai Boyan. Tindakan tersebut dinilai sebagai tindakan konsumsi untuk
menunjukan identitas diri seseorang tersebut. Konsumsi memang dapat dilihat
sebagai pembentuk identitas. Barang-barang simbolis dapat juga dipandang
sebagai sumber yang mana orang mengkonstruksi identitas dan hubungan-hubungan
dengan orang lain yang menempati dunia simbolis yang sama. Seperti yang disebut
oleh Simmel ([1907] 1978 : 323) dalam Damsar (2002: 120) ego akan runtuh dan
kehilangan dimensinya jika ia tidak dikelilingi obyek eksternal yang menjadi
ekspresi dari kecenderungannya, kekuatannya dan cara individualnya karena
mereka mematuhinya, atau dengan kata lain, miliknya.
Menurut
Damsar (2011:128) identitas secara sederhana, dapat dipahami sebagai suatu
pertanyaan tentang diri, yaitu siapa aku, berkait dengan ruang dan waktu
sosial. Apa yang dikonsumsi seperti pakaian, kendaraan, makanan, dan perumahan
dapat menjadi penanda identitas seseorang atau kelompok orang. Berkaitan dengan
hal tersebut, pembangunan rumah Bang No dengan mengikuti mode modern adalah
untuk menunjukkan identitas dirinya sebagai orang yang berada. Masyarakat
sekitar secara wajar menerima tindakan Bang No karena memang Bang No berasal
dari kalangan yang punya. Secara matematis, pada waktu itubiaya yang
dikeluarkan untuk membangun rumah dengan model modern lebih mahal dibandingkan
dengan rumah yang dibangun dengan model panggung. Jadi ketika rumah itu
dibangun, masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang berharga. Namun
kondisinya mungkin akan berbeda dengan sekarang, karena kini kayu sudah semakin
mahal dan susah didapat. Jadi orang yang membangun rumah panggungpun sekarang
tidak kalah “ngetop” dengan orang yang membangun rumah modern.Sekarang orang
menunjukan identitas mereka sebagai orang yang berada atau mereka yang dari
golongan keluarga kaya, khususnya adalah pemilik lahan sawit dengan cara mulai membuat lantai dua, melapisi
dinding kayu dengan semen atau mengganti lantai kayu dengan keramik di rumah
panggungnya.
Sekarang orang-orang yang memiliki lahan
sawit akan semakin kaya dan akan terus memperbaiki rumahnya dengan melengkapi
fasilitas yang mereka inginkan. Bagaimana tidak, sekarang harga sawit semakin
mahal. Berbeda dengan harga karet yang semakin lama semakin turun. Orang-orang
yang hanya menggantungkan hidupnya pada getah karetpun akan tetap dalam kondisi
yang sederhana dan bisa dibilang pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan
sehari-harinya. Sekarang dapat dilihat perbedaan antara rumah-rumah milik orang
yang memiliki lahan sawit dan rumah orang yang hanya memiliki lahan karet, atau
rumah milik orang yang tidak memiliki lahan sama sekali di Sengkuang Daok.
Meskipun sama-sama rumah panggung, namun dilihat dari kualitas, tampilan, serta
isi atau inventarisasi barang yang ada didalam rumah tersebut jauh berbeda.
Rumah orang kaya atau pemilik lahan sawit sudah banyak yang berlantai dua,
lantainya berupa keramik, dindingnya sudah mulai dilapisi dengan semen dengan
cat yang menarik. Selain itu didalam rumah tersebut setidaknya terdapat fasilitas
yang lengkap. Dalam hal ini saya mengambil contoh barang yang dimiliki oleh rumah
dari keluarga Bapak Muhairin sebagai pemilik kapling sawit yang memiliki dua
lantai. Barang-barang yang dimiliki antara lain adalah dispenser Pure It,
lukisan masjid madinah berukuran 120 x 90 cm, sofa (panjang 1, kursi 3, meja),
foto keluarga, TV 21 Inch polytron dan digital parabola Skynindo, kaset VCD dan
DVD, DVD 2, lemari TV, mesin jahit 2, lemari pakaian, lemari kaca tempat barang
pecah belah, gergaji mesin Falcon 5200, mesin sampan Tohatsu, sampan, pompa,
speaker 2, lemari kaca, lemari es, dispenser 2, magicom, kompor gas, kamar
mandi dan WC, 4 kamar tidur, dan sebagainya.
Sementara itu, kondisinya cukup berbeda
dengan rumah orang yang hanya memiliki kebun karet atau tidak memiliki lahan
sama sekali, baik kebun karet maupun kapling sawit. Rumah dari orang yang
“tidak punya” tersebut terlihat hanya menggunakan kayu tua, tidak terlalu luas,
lantainya menggunakan kayu, dindingnya juga kayu, dan fasilitas atau
kepemilikan barangnyapun tak selengkap yang dimiliki oleh orang-orang kaya. Dalam
hal ini saya mengambil contoh barang yang dimiliki oleh rumah dari keluarga Pak
Aji (bukan nama asli) yang hanya satu lantai. Contoh barang yang dimiliki
antara lain adalah lemari buku dan boneka, kursi plastik dan meja di ruang
tamu, TV sharp 21 inch dan parabola, DVD Samsung, speaker aktif, kipas angin,
lemari kaca untuk barang pecah belah, kulkas sharp, kompor gas, tempat air
(dispenser non listrik), motor 2; Garuda dan Axelo, handpone 4, kamar mandi
tanpa WC, 2 kamar tidur, senapan, dan sebagainya.
Contoh
lain adalah kepemilikan barang-barang di rumah Bapak Ari (bukan nama asli) yang
tidak memiliki kapling sawit. Rumahnya adalah 1 lantai, barang kepemilikannya diantaranya
adalah televisi, laptop milik anaknya (seorang mahasiswa), lemari TV, lemari
pakaian, lemari barang pecah belah, kursi ruang tamu, bunga hias dari sedotan,
kulkas, mesin spit air, mesin listrik bergenerator, kompor gas, 4 kamar tidur,
ruang tamu, kamar mandi, dan lainnya.Meskipun tidak semuanya seperti
ilustrasidiatas. Namun contoh diatas adalah sedikit gambaran perbedaan rumah
milik orang “berada” dan rumah milik orang yang “biasa”. Saya kira contoh
diatas cukup mewakili perbedaan tersebut.
Berbeda
Itu Aneh
Menurut
Durkheim dalam Damsar (2011:116), masyarakat terintegrasi karena adanya
kesadaran kolektif (collective
consciousness), yaitu totalitas kepercayaan-kepercayaan dan
sentimen-sentimen bersama (1964:79). Ia merupakan suatu solidaritas yang
tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan
menganut kepercayaan-kepercayaan dan pola normatif yang sama pula. Kesadaran
kolektif ternyata tidak sama pada setiap masyarakat, tergantung pada tipenya.
Durkheim membagi masyarakat atas dua tipe, yaitu masyarakat yang berlandaskan
solidaritas makanik dan organik. Dalam masyarakat berlandaskan solidaritas
mekanik, kesadaran kolektif meliputi keseluruhan masyarakat beserta anggotanya
dan dengan intensitas tinggi seperti keterlibatan komunitas dalam menghukum orang
yang menyimpang dengan mengutamakan penggunaan hukum represif. Kesadaran
kolektif dalam masyarakat berlandaskan solidaritas mekanik menuntun anggotanya
untuk melakukan konsumsi yang tidak berbeda antara satu sama lain, seragam
dalam cara dan pola konsumsi seperti pola pangan, sandang, dan papan.
Penyimpangan terhadap cara dan pola konsumsi akan dikenakan sanksi hukuman
represif dan kolektif seperti menggunjingkan sampai kepada mengucilkan
seseorang tersebut.
Hal
ini juga terlihat dalam masyarakat Sengkuang Daok. Rata-rata masyarakat disana
menggunakan sandal jepit dan sandal karet. Lalu ketika kami, para mahasiswa
berjalan berkeliling kampung menggunakan sandal gunung. Kami dianggap asing dan
kebanyakan dari mereka tidak menjawab salam sapa yang kami lontarkan pada
mereka. Selain itu status kami sebagai mahasiswapun tidak serta merta mereka
terima sebagai sesuatu yang dianggap biasa. Masyarakat masih menganggap kami
sebagai orang yang berbeda dengan mereka dan cenderung malu untuk berhadapan
dengan kami, bahkan setelah beberapa minggu kami disana.
Hal
itu tidak hanya dialami kami, mahasiswa dari Jawa. Di Sengkuang Daok rata-rata
remajanya adalah berpendidikan sampai SMP atau SMA saja, sedikit sekali yang
melanjtukan sampai ke perguruan tinggi. Kesadaran kolektif mereka mengatakan
bahwa, masyarakat disana tidak perlu bersekolah tinggi karena ujung-ujungnya
adalah untuk mencari pekerjaan, sedangkan pekerjaan yang paling nyaman disana
adalah menjadi petani sawit yang tidak membutuhkan ijasah perguruan tinggi.
Namun sedikitnya terdapat 9 mahasiswa di Sengkuang Daok, terdiri dari 4
laki-laki dan 5 betina³. Diantara remaja yang lain, ke sembilan mahasiswa
tersebut memiliki pergaulan tersendiri dengan remaja lain. Apabila mereka
sedang berkumpul tak jarang mereka suka digosipkan oleh remaja lain, mereka
dianggap sebagai orang yang sok sekolah tinggi, namun ujung-ujungnya juga akan
kembali jadi petani sawit atau menoreh karet di kampung. Bahkan Nita, salah
seorang mahasiswa tersebut hampir tidak memiliki teman ketika sedang pulang
kampung. Dia lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah untuk membantu
pekerjaan ibunya daripada berkumpul bersama temannya di Batu. Menurut Nita,
bergaul dengan remaja disini tidak membuat bertambahnya wawasan, namun malah akan
menjerumuskan pada hal-hal negatif karena topik yang dibicarakan lebih sering
adalah hal-hal negatif.
³ Istilah orang Sengkuang Daok
untuk menyebutkan wanita atau perempuan
Terang saja, sebagian remaja Sengkuang
Daok adalah pengkonsumsi arak. Mereka mendapatkan uang dari bekerja menjadi
buruh, ada juga mereka yang masih meminta uang orang tua namun uangnya
dibelikan barang tersebut. Perkumpulan mereka biasanya adalah di batu.
Rata-rata dari mereka adalah memiliki motor dan tidak bersekolah. Kebanyakan
dari mereka berhenti di tengah jalan sekolahnya atau lulusan SMP. Mereka
berkumpul setiap sore dari jam 4 sampai jam setengah 6. Setelah isya sekitar
jam 7 mereka berkumpul lagi di tempat yang sama. Disana mereka mengobrol,
merokok, dan mengkonsumsi obat-obatan ataupun mabuk.Meskipun dalam perkumpulan tersebut
tidak semuanya adalah pengkonsumsi arak.Hal tersebut adalah sesuatu yang
dianggap biasa oleh masyarakat Sengkuang Daok.
“Orang
tua mereka bukannya tidak melarang anaknya melakukan hal tersebut, namun karena
para orang tua sudah tidak mampu lagi bagaimana caranya mengajari mereka”, kata
Bandi, salah seorang remaja Sengkuang Daok.
Selain
itu, kebiasaan lain orang Sengkuang Daok adalah mandi di sungai. Meskipun di
rumah mereka (bagi sebagian rumah) terdapat kamar mandi, namun bagi masyarakat
Sengkuang Daok mandi di sungai bukanlah suatu keadaan yang “memaksa” melainkan
adalah cara mereka agar berbaur dengan alam, bertemu dengan orang-orang
disekitarnya. Khususnya untuk rumah yang berada di jalan laut. Jadi barang
siapa yang tidak mandi di sungai maka dia dianggap sebagai orang yang sombong
dan orang itu akan digunjingkan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh adalah
seorang guru di SD N 35 Sengkuang Daok yaitu bapak Suparman (bukan nama asli).
Beliau dan keluarganya tak sekalipun pernah mandi di sungai. Beliau lebih
memilih mandi di kamar mandi rumah karena beliau jarang memiliki teman yang
akrab di lingkungan tempat tinggalnya. Selain itu beliau dan istrinya juga
bukan orang Melayu, melainkan adalah orang Jawa. Oleh karena itulah mungkin
tidak terbiasa mandi di sungai. Beliau lebih memilih tidur disaat orang-orang
meributkan sesuatu diluar. Kegiatannya diluar hanyalah ketika mengajar dan
sholat di masjid. Selain itu dihabiskan bersama keluarganya di rumah atau pergi
ke Meliau untuk berbelanja atau mengobati anaknya yang sering sakit-sakitan.
Oleh karena itu pulalah keluarganya seperti teralienasi oleh lingkungannya. Pak
suparman juga terlihat membatasi pergaulan anaknya. Anaknya sekarang masih
duduk di kelas 3 bangku sekolah dasar. Disaat anak lain seusianya bermain
gasing, berkumpul dengan temannya, sudah bisa mengendarai motor kesana kemari.
Anak Pak suparman terlihat lebih sering menyendiri, bermain sepeda, dan hanya
bermain di sekitar rumahnya saja. Lingkungan anak-anak sekitar di Sengkuang
Daok dinilai buruk oleh Pak Suparman. Beliau rencananya juga akan menyekolahkan
anaknya di Meliau atau di pondok pesantren setelah lulus SD nanti.
Simpulan
Pekerjaan masyarakat Sengkuang Daok sangat
beragam. Keberagaman tersebut menghasilkan beberapa perbedaan dalam berbagai
hal, salah satunya adalah konsumsi. Perbedaan konsumsi antara keluarga pemilik
kapling dan keluarga yang tidak memiliki kapling sawit bisa dilihat dari
berbagai sudut pandang. Misalnya dilihat dari menu yang dimakan pada saat
berbuka puasa maupun ketika sahur. Meskipun jenis makanannya sama, namun
keragaman dan jumlahnya berbeda. Masyarakat kelas bawah cenderung lebih
sederhana dalam mengkonsumsi makanan dan minuman dibandingkan masyarakat kelas
atas. Namun ada satu hal menarik dari kebiasaan konsumsi masyarakat Sengkuang
Daok yaitu, baik masyarakat kelas bawah maupun masyarakat kelas atas, mereka tidak
bisa lepas dari minuman rasa-rasa baik minuman penyegar maupun sirup. Selain
itu, kopi, teh, dan coklat adalah minuman yang tidak bisa ditinggalkan oleh
masyarakat setiap harinya. Dilihat dari keseharian mereka menghabiskan waktu,
pemilik kapling sawit lebih santai dalam menjalani hidup. Namun bagi mereka
yang tidak memiliki kapling, mereka harus bekerja keras dari petang hingga
siang.
Digambarkan
bagaimana enaknya hidup sebagai orang yang memiliki kapling sawit. Dengan
demikian semakin lama masyarakat akan berusaha untuk memiliki kapling sawit.
Orang-orang yang sudah memiliki kapling
sawitpun
akan terus menambah lahannya sebanyak mungkin. Dengan kondisi tersebut, harga
kapling sawitpun akan semakin mahal karena diminati oleh banyak orang. Sehingga
masyarakat kelas atas akan semakin kaya dengan menambah koleksi kapling
sawitnya dan masyarakat kelas bawah butuh waktu lama untuk bisa naik tingkat
secara perekonomian karena harga kapling sawit yang semakin mahal dan hanya
dijangkau oleh kalangan berduit saja.
Meskipun
demikian, banyak masyarakat yang telah memiliki kapling sawit tetapi juga
memiliki kebun karet. Bagi mereka, kebun karet masih berharga karena permintaan karet itu akan terus
menerus ada, jadi setiap haripun kita bisa menjual karet.
Daftar Pustaka
Damsar.
2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Damsar.
2011. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana Krenada Media Group
Haryanto,
Sindung. Sosiologi Ekonomi. Jogjakarta: AR-RUZZ Media
0 comments:
Post a Comment