Benarkah
uang dan kekuasaan itu telah “membutakan mata” Aceng Fikri, seorang bupati
Garut yang sedang menerima banyak “perhatian” dari masyarakat baik dalam maupun
luar negeri? Satu-persatu “keborokannya” mulai terkuak. Setelah menceraikan
istri sirinya sinta setelah pernikahanya selama dua bulan, lalu dia berulah
dengan menceraikan istrinya selama empat hari saja, lewat pesan pendek di
ponsel pula, kini ada seorang yang mengaku diperas dan ditipu pada saat
pergantian posisi kosong wakil bupati Garut yang ditinggalkan oleh Dicky Candra.
Diberitakan bahwa Aceng menggunakan kewenangan dalam menentukan bakal calon
wakil bupati yang nantinya diusulkan pada DPRD kabupaten Garut dengan “memasang
tarif” kepada calonya.
Pelajaran apa yang sedang diajarkan
seorang figur publik ini pada masyarakatnya? Adalah moral yang sangat tidak
terpuji yang dilakukan oleh Aceng ini. Seharusnya sebagai pejabat publik dia
harus menjaga perilakunya agar tidak menimbulkan banyak kecaman karena segala
perilakunya diperhatikan masyarakat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, dia
menggunakan kekuasaan dan uang yang ia miliki untuk melakukan apa saja yang
diinginkannya.
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral
dan dianggap salah satu momen terpenting dalam hidup. Namun yang terjadi adalah
dasar pernikahan yang dilakukan seorang publik figur ini adalah nafsu belaka.
Dengan alasan bau mulut dan tidak perawan, istrinya yang baru berusia 18 tahun
harus rela diceraikan. Anehnya lagi cara menceraikannya adalah lewat sms.
Ternyata handpone sekarang tidak hanya digunakan untuk mengirim pesan dan
melakukan panggilan saja namun, juga bisa dijadikan “media yang praktis” untuk
menceraikan. Miris sekali melihat moral yang dimiliki wakil rakyat ini.
Persoalannya bukan terletak pada sah
atau tidaknya perceraian itu. Tetapi lebih pada pantas atau tidaknya perilaku
tersebut. Karena dengan demikian, maka secara tidak langsung maupun langsung
Aceng melakukan tindakan yang sangat menyakiti pihak istri maupun keluarga
besarnya. Bagaimana bisa terjadi janji suci seorang pejabat yang diucapkan pada
saat pernikahan harus “dimunafikan” dengan perlakuan yang tidak sesuai standar
moral kepantasan secara umum. Ini sama saja merendahkan derajat wanita di mata
umum, karena seolah-olah karena laki-laki berhak menceraikan istrinya, seorang
suami bisa seenaknya melakukan nikah, cerai, nikah cerai. Setelah itu Aceng
memilih upaya islah untuk menghindari ketakutan agar kasusnya tidak
diperpanjang ke meja hijau. Upaya ini adalah salah satu bentuk tindakan yang
tidak bertanggung jawab dari Aceng.
Perilaku Aceng ini secara tidak
langsung adalah contoh bagi warga Garut
khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya bahwa kekuasaan dan uang itu
telah membutakan mata seorang pejabat pemerintahan yang seharusnya jadi panutan
dan teladan bagi masyarakat luas disekitarnya. Lagi-lagi masyarakat negara ini
ditunjukan kebobrokan moral para pejabat publik, yang sama sekali tidak
mereprentasikan tujuan dan cita-cita rakyat pada umumnya.
Ulahnya tidak berhenti sampai disitu, masih
ada lagi “ulah” Aceng yang menggegerkan warga Garut pada khususnya mengenai
pemasangan tarif pada saat pencalonan posisi wakil bupati yang ditinggalkan
oleh Dicky Candra. Seperti yang dilaporkan kemaren (7/12) di salah satu stasiun
televisi mengenai wawancara dengan seorang bakal calon bupati yang gagal dalam
pencalonan dan menurut pengakuannya dia sudah menyerahkan uang sebanyak 250
juta rupiah kepada bupati Aceng. Masalah ini harus ditindak secara serius agar
tidak “menular” luas pada pejabat lain meskipun mungkin sudah banyak kasus
serupa di daerah lain.
Dengan begitu artinya Aceng sudah
melanggar hukum, dan harus ditindak secara hukum pula. Seorang pejabat
pemerintahan yang melanggar hukum apalagi kasusnya cukup berat hendaknya sadar
diri. Nampaknya beberapa catatan hitam di atas sudah cukup pantas bagi Aceng
untuk turun dari jabatannya di pemerintahan. Karena banyak rakyat juga yang
menilai Aceng dengan segala “keborokannya” sudah tidak pantas untuk memimpin
warga Garut. Warga Garut sudah cukup “puas” menerima kelakuan “nakal” bupatinya
sehingga diharapkan ada kesadaran dari Aceng untuk mengundurkan diri dari
posisinya atau setelah menemukan bukti dan saksi yang jelas untuk menjerat
Aceng dalam kasus hukum pemerintah juga melengserkan posisinya untuk diganti
yang lebih layak.
0 comments:
Post a Comment