Saturday, 23 August 2014

Aceng “Populerkan Aplikasi HP Model Baru”


       Benarkah uang dan kekuasaan itu telah “membutakan mata” Aceng Fikri, seorang bupati Garut yang sedang menerima banyak “perhatian” dari masyarakat baik dalam maupun luar negeri? Satu-persatu “keborokannya” mulai terkuak. Setelah menceraikan istri sirinya sinta setelah pernikahanya selama dua bulan, lalu dia berulah dengan menceraikan istrinya selama empat hari saja, lewat pesan pendek di ponsel pula, kini ada seorang yang mengaku diperas dan ditipu pada saat pergantian posisi kosong wakil bupati Garut yang ditinggalkan oleh Dicky Candra. Diberitakan bahwa Aceng menggunakan kewenangan dalam menentukan bakal calon wakil bupati yang nantinya diusulkan pada DPRD kabupaten Garut dengan “memasang tarif” kepada calonya.

Pelajaran apa yang sedang diajarkan seorang figur publik ini pada masyarakatnya? Adalah moral yang sangat tidak terpuji yang dilakukan oleh Aceng ini. Seharusnya sebagai pejabat publik dia harus menjaga perilakunya agar tidak menimbulkan banyak kecaman karena segala perilakunya diperhatikan masyarakat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, dia menggunakan kekuasaan dan uang yang ia miliki untuk melakukan apa saja yang diinginkannya.
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan dianggap salah satu momen terpenting dalam hidup. Namun yang terjadi adalah dasar pernikahan yang dilakukan seorang publik figur ini adalah nafsu belaka. Dengan alasan bau mulut dan tidak perawan, istrinya yang baru berusia 18 tahun harus rela diceraikan. Anehnya lagi cara menceraikannya adalah lewat sms. Ternyata handpone sekarang tidak hanya digunakan untuk mengirim pesan dan melakukan panggilan saja namun, juga bisa dijadikan “media yang praktis” untuk menceraikan. Miris sekali melihat moral yang dimiliki wakil rakyat ini.
Persoalannya bukan terletak pada sah atau tidaknya perceraian itu. Tetapi lebih pada pantas atau tidaknya perilaku tersebut. Karena dengan demikian, maka secara tidak langsung maupun langsung Aceng melakukan tindakan yang sangat menyakiti pihak istri maupun keluarga besarnya. Bagaimana bisa terjadi janji suci seorang pejabat yang diucapkan pada saat pernikahan harus “dimunafikan” dengan perlakuan yang tidak sesuai standar moral kepantasan secara umum. Ini sama saja merendahkan derajat wanita di mata umum, karena seolah-olah karena laki-laki berhak menceraikan istrinya, seorang suami bisa seenaknya melakukan nikah, cerai, nikah cerai. Setelah itu Aceng memilih upaya islah untuk menghindari ketakutan agar kasusnya tidak diperpanjang ke meja hijau. Upaya ini adalah salah satu bentuk tindakan yang tidak bertanggung jawab dari Aceng.
Perilaku Aceng ini secara tidak langsung adalah contoh bagi warga Garut  khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya bahwa kekuasaan dan uang itu telah membutakan mata seorang pejabat pemerintahan yang seharusnya jadi panutan dan teladan bagi masyarakat luas disekitarnya. Lagi-lagi masyarakat negara ini ditunjukan kebobrokan moral para pejabat publik, yang sama sekali tidak mereprentasikan tujuan dan cita-cita rakyat pada umumnya.
Ulahnya tidak berhenti sampai disitu, masih ada lagi “ulah” Aceng yang menggegerkan warga Garut pada khususnya mengenai pemasangan tarif pada saat pencalonan posisi wakil bupati yang ditinggalkan oleh Dicky Candra. Seperti yang dilaporkan kemaren (7/12) di salah satu stasiun televisi mengenai wawancara dengan seorang bakal calon bupati yang gagal dalam pencalonan dan menurut pengakuannya dia sudah menyerahkan uang sebanyak 250 juta rupiah kepada bupati Aceng. Masalah ini harus ditindak secara serius agar tidak “menular” luas pada pejabat lain meskipun mungkin sudah banyak kasus serupa di daerah lain.
Dengan begitu artinya Aceng sudah melanggar hukum, dan harus ditindak secara hukum pula. Seorang pejabat pemerintahan yang melanggar hukum apalagi kasusnya cukup berat hendaknya sadar diri. Nampaknya beberapa catatan hitam di atas sudah cukup pantas bagi Aceng untuk turun dari jabatannya di pemerintahan. Karena banyak rakyat juga yang menilai Aceng dengan segala “keborokannya” sudah tidak pantas untuk memimpin warga Garut. Warga Garut sudah cukup “puas” menerima kelakuan “nakal” bupatinya sehingga diharapkan ada kesadaran dari Aceng untuk mengundurkan diri dari posisinya atau setelah menemukan bukti dan saksi yang jelas untuk menjerat Aceng dalam kasus hukum pemerintah juga melengserkan posisinya untuk diganti yang lebih layak.

0 comments:

Post a Comment