Monday 23 November 2020

Memahami Logika Kerumunan

Ribuan orang yang menyambut kepulangan Habib Rizieq kemarin menimbulkan kerumunan yang lain, yaitu kerumunan para penentangnya di media sosial. Dengan berbagai argumen, mereka menghujat kerumunan yang riskan menimbulkan cluster baru virus covid 19 itu. Tapi, kalau kita mau berpikir sejenak, kita mungkin urung menyalahkan mereka, apalagi menghujat mereka layaknya pelaku kejahatan.

***

Kejadian berkerumun seperti itu, terlebih di masa pandemi, bukanlah satu-satunya yang terjadi. Belum lama ini, ada banyak orang yang berkerumun, berdemonstrasi, dan merespons pidato presiden Perancis. Sebelumnya lagi, ada demonstrasi tolak Omnibuslaw yang terjadi di berbagai daerah. Beberapa hari setelah tiba di Indonesia, HRS juga kemudian menggelar pesta pernikahan yang dihadiri banyak orang. Dari setiap kejadian itu, ada saja orang yang tidak setuju.

Yang menarik adalah, orang-orang yang tidak setuju itu kemudian melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang hampir serupa, “Itu orang mudeng nggak sih dengan yang dia lakukan?”, “Emangnya itu orang udah memahami Perancis?”, “Itu orang-orang udah pada baca UU Omnibuslaw atau belum sih?” Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya senada: menggugat pemahaman atau rasionalitas orang atas tindakannya.

Pertanyaan itu menurut saya adalah kegagalan kita memahami logika atas alasan orang-orang itu berkerumun. Setiap orang memang mempunyai rasionalitasnya masing-masing atas tindakannya. Tapi, orang tidak bergerak atas rasionalitas yang dimilikinya sendiri. Apalagi bergerak menggunakan rasionalitas orang-orang yang menggugat tadi. Jelas tidak.

Menurut saya, pilihan rasional personal orang dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Orang-orang itu berkerumun bukan karena dia mudeng atau tidak mudeng dengan persoalannya. Ketika seseorang berada di lingkaran orang-orang yang menyambut Habib Rizieq ke Bandara, dia akan cenderung ikut kerumunan itu. Begitu juga untuk kasus kerumunan yang mendemo kedutaan Perancis, atau demonstrasi yang menolak Omnibuslaw. Orang bergerak atas dasar apa yang lazim dilakukan masyarakatnya.

Memangnya, sejak kapan orang melakukan sesuatu karena rasionalitas yang dia bangun sendiri? Jarang sekali, untuk tidak mengatakan tidak pernah. Tindakan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan di luar diri orang tersebut.

Orang bergerak karena masyarakat di sekitarnya bergerak. Justru, kalau dia tidak ikut bergerak, maka dia yang akan digolongkan sebagai penyimpang. Tindakannya dianggap sebagai penyimpangan sosial di komunitas mayarakat tersebut.

Misalnya, seorang perempuan yang menjadi satpam atau sopir bisa dianggap menyimpang atau aneh dalam masyarakat yang mengenal bahwa profesi tersebut lazimnya dipegang oleh seorang laki-laki. Sebaliknya, dalam masyarakat dimana pekerjaan sebagai sopir atau satpam tidak terkait dengan jenis kelamin tertentu, fenomena tersebut jadi biasa saja.

Ini bukan soal baik dan buruk atau benar dan salah. Dalam perspektif gender, fenomena tersebut disebut kesetaraan atau emansipasi. Tapi logika yang berlaku di masyarakat yang pertama, itu penyimpangan.

Bahkan, setiap tindakan manusia dibentuk dan disosialisasikan secara terus menerus sejak kecil. Seseorang akan bertindak sesuai dengan kelaziman masyarakatnya. Misalnya, seorang anak kecil yang ngompol, sejak kecil dia digugat oleh orangtuanya. Sampai kemudian dia mudeng bahwa ngompol itu tidak diterima oleh orang-orang di sekitarnya, anak itu akan berusaha untuk tidak ngompol. Bahkan dalam kondisi bawah sadar pun dia akan berupaya untuk tidak ngompol.

Begitu juga dengan sosialisasi anak-anak soal menerima sesuatu menggunakan tangan kanan. Sejak kecil dia tidak tahu tangan mana yang harus diulurkan untuk menerima sesuatu. Sampai kemudian dia tahu hanya tangan kanan yang dianggap lazim oleh orang-orang sekitarnya, maka dia akan menggunakan tangan itu ketika menerima sesuatu.

***

Dalam masyarakat yang sudah terkoneksi satu sama lain seperti ini, apakah hal tersebut masih berlaku? Apakah tindakan manusia masih dipengaruhi oleh orang lain? Jawabannya: tentu saja iya. Bahkan masyarakat semakin terpolarisasi oleh media sosial. Dengan algoritma yang berlaku di media sosial, tindakan seseorang semakin seragam dengan komunitas digitalnya.

Dalam kasus kerumunan itu, tentu saja permasalahannya bukan apakah dia mudeng atau tidak, juga bukan soal apakah dia sudah membaca atau belum. Persoalannya adalah dia berada dalam lingkaran komunitas yang seperti apa.

Informasi yang dibaca oleh orang-orang yang turun menyambut Habib Rizieq itu berbeda dari informasi yang dibaca para penggugatnya. Begitu juga soal kasus tim “demo Perancis” dan tim tolak Omnibuslaw, narasi yang mereka terima soal Perancis dan Omnibuslaw tentu berbeda dari narasi para penolaknya.

Dalam situasi seperti itu, di lingkungan orang-orang yang turun menyambut Habib Rizieq ke bandara, justru orang-orang yang tidak ke bandara lah yang menyimpang secara sosial. Begitu juga di lingkungan—baik nyata maupun digital—yang tidak ikut menyambut kedatangan Habib Rizieq, orang-orang yang ikut ke bandara akan dilihat sebagai orang yang aneh, tidak rasional, tidak mudeng persoalan, dan satu lagi: menyimpang!

Tapi, sekali lagi, ini bukan soal baik dan buruk, atau benar dan salah. Ini soal bagaimana tindakan sosial manusia itu tidak terlepas dari tindakan masyarakat yang berada di sekitarnya dan narasi yang diterima oleh orang-orang tersebut.

Seandainya para penggugat itu tinggal di lingkungan dan menerima narasi terus menerus yang sama dengan para penyambut Habib Rizieq itu, apakah masih akan menggugat? Apakah manusia se-tak-berdaya itu?

Terus, kalau seorang pejabat, tinggal di lingkungan yang korup, apakah dia juga akan kesulitan untuk tidak berbuat korup? Lho!

Sunday 27 September 2020

Berebut Otoritas Melawan Virus

Belum lama ini, seorang dokter dikenai sanksi menyapu jalan karena ia diketahui tidak mengenakan masker ketika mengendarai mobil pribadinya. Ini adalah paradoks; seseorang yang setiap harinya menangani penyembuhan pasien covid 19, dikenai sanksi oleh seorang polisi karena pelanggaran protokol kesehatan; pencegahan penyebaran virus corona.

Dari peristiwa itu, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta ‘menggugat’ soal orang yang berkendara menggunakan mobil pribadi saat sendirian tidak perlu dikenai aturan tersebut. Ringkasnya, ada argumentasi medis yang harus dipahami oleh pihak kepolisian soal aturan wajib bermasker saat di kendaraan.

Meskipun seorang dokter mungkin saja melakukan pelanggaran terhadap protokol kesehatan, ini menyiratkan bahwa pemegang otoritas pengetahuan-kebenaran tidak berarti sekaligus pemegang otoritas kekuasaan. Filsuf Perancis, Michel Foucault atau filsuf lain yang lebih dulu mengatakannya, nampaknya harus merevisi kata-katanya soal ‘knowledge is power’.

Kenyatannya, seorang polisi yang memegang otoritas kuasa-kewenangan, bisa menegur seorang dokter yang memegang otoritas pengetahuan soal kesehatan, ketika dia melanggar ketentuan yang diberlakukan dalam kewenangan kebijakan. Power is power!

Jika kita kembali melihat ke awal munculnya virus corona, tumpang tindih soal otoritas ini sudah banyak terjadi. Ketika belum memasuki Indonesia, fenomena merebaknya wabah virus ini justru banyak dikomentari oleh para politisi dan bahkan pemuka agama alih-alih pakar kesehatan.

Virus Corona adalah hukuman Tuhan untuk penindas Suku Uighur’, ‘tembakau atau bawang putih sebagai obat covid 19’, atau soal ‘virus Corona yang tak bisa masuk negara tropis’ adalah pernyataan spekulatif yang dulu sering  kita dengar; tidak didasarkan pada penelitian dari para ahli virologi.

Komentar-komentar itu bercampur baur dengan informasi vital yang semestinya diterima masyarakat Indonesia. Sampai kemudian virus itu masuk ke dalam negeri, kita gagap mengidentifikasi penyebab, penyebaran, dan cara mencegah virus tersebut.

Logika Ketidakpatuhan

Sampai sekarang, tujuh bulan pasca virus Corona masuk Indonesia, masyarakat kita masih gagal memahami siapa yang harus dipercaya soal Virus Corona ini. Tarik ulur kebijakan pemerintah, berbagai perdebatan istilah yang digunakan, atau komentar-komentar politisi soal vaksin atau obat untuk covid-19 masih sering didengar oleh masyarakat.

Isu-isu negatif yang menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah, tenaga kesehatan, bahkan pada virus itu sendiri beredar, linear dengan masifnya penyebaran virus corona. Banyak masyarakat yang meyakini bahwa pemerintah bermain-main dengan kasus ini; semakin banyak kasus, semakin banyak anggaran yang bisa ‘dimanfaatkan’. Tenaga kesehatan atau pihak rumah sakit juga dianggap memanfaatkan situasi ini; banyak pasien yang sebenarnya tidak jelas statusnya, dilabeli positif covid-19 agar uang cair.

Selain isu tersebut, fenomena lucu dan miris juga terjadi di masyarakat. Pasar mendadak sepi karena kabar akan ada rapid test atau tes swab bocor di kalangan penjual. Mereka meyakini siapa saja bisa dilabeli ‘positif’ setelah tes tersebut meskipun mereka merasa baik-baik saja. Secara logika, pilihan untuk tidak tes adalah yang terbaik meskipun mereka berkemungkinan terpapar virus corona.

Tes yang sejatinya justru memberi ketenangan karena memberikan kepastian akan status seseorang, justru dihindari masyarakat. Hal tersebut menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat bahkan pada metode saintifik yang hasilnya pasti.

Yang lebih lucu lagi, cerita soal nenek-nenek yang menitipkan salam untuk corona setelah menerima bingkisan sembako bantuan untuk masyarakat terdampak wabah, atau cerita soal orang-orang yang berharap agar corona tidak cepat usai karena mereka senang menerima bantuan. Itu menyiratkan bahwa seolah-olah mereka tidak akan terkena virus itu sendiri.

Dengan ketidakpercayaan yang berkembang di masyarakat, jangan terlalu berharap langkah-langkah pencegahan seperti menjaga jarak dan memakai masker bisa disiplin diterapkan. Protokol kesehatan menjadi formalitas kegiatan masyarakat tanpa diiringi kesadaran akan bahaya penyebaran virus corona.

Lalu apa respons pemerintah sementara ini atas ketidakdisiplinan itu?

Baru-baru ini aturan yang dianggap sebagai protokol kesehatan ini kembali digalakkan. Presiden menunjuk seorang Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia untuk menekan penyebaran covid di sembilan provinsi, berbagai daerah menggelar razia kedisipilinan terhadap protokol kesehatan, pihak kepolisian mengerahkan preman untuk mengawasi warga di pasar agar taat protokol kesehatan, berbagai kepala daerah juga membentuk tim pemburu untuk para pelanggar protokol kesehatan, dan lain sebagainya.

Apakah semua itu mengembalikan kepercayaan masyarakat? Apakah langkah itu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk ikut menghambat penyebaran virus corona?

Kesan yang justru muncul adalah bahwa pencegahan covid-19 bukan urusan kesehatan, melainkan urusan politisi, preman, polisi, dan ‘para pemburu’. Selain itu, dengan mengerahkan berbagai ‘pasukan penyidak’ itu, secara tidak langsung juga menyiratkan bahwa ketidakpatuhan masyarakatlah penyebab melonjaknya kasus positif virus corona ini.

Lalu otoritas mana yang harusnya bekerja dalam menangani persoalan covid 19 ini?

Bagaimanapun juga, otoritas pengetahuan soal covid 19 ini menjadi milik para pakar kesehatan, ahli virologi, dan tenaga kesehatan. Para tenaga kesehatanlah yang memiliki fakta dan kebenaran ilmiah yang tidak bisa ditolak. Sementara, sesuatu yang dibawa oleh para agamawan, tokoh, politisi, polisi, preman hanya akan mentok menjadi seruan moral, nilai, norma, dan aturan yang bisa dihindari.

Thursday 3 September 2020

Mengapa Data Pribadi Penting?

Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke sebuah Sekolah Dasar. Saya kemudian berkenalan dengan seorang siswa kelas 5 dan sedikit ngobrol basa-basi. Namun perbincangan terhenti setelah saya menanyakan alamat rumah anak tersebut. Dia tidak mau menjawab dan hanya mengatakan bahwa itu adalah privasi yang tidak boleh saya ketahui.

Saya mencoba memahami jawaban anak tersebut dengan menyadari bahwa alamat rumah adalah informasi pribadi yang berhak dia rahasiakan. Akan tetapi, saya sebenarnya kaget karena banyak diantara kita abai seberapa penting data pribadi itu. Terlebih di era sosial media ini, banyak orang mengunggah lokasi keberadaannya, perasaannya saat itu, dan berbagai informasi pribadi lainnya di sosial media. Seseorang dengan mudahnya memberikan data-data, baik disadari atau tidak ke publik.

Gambar: Saat kita mengakses wifi, biasanya kita akan diminta mengisi data pribadi
    

    Secara umum, orang bisa menyebut data sebagai deskripsi dari sesuatu atau kenyataan yang dapat direkam, dianalisis, dan ditata ulang.[1] Sementara data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.[2]

Konsep ataupun definisi mengenai data pribadi sebenarnya cukup beragam. Ia tidak melulu informasi tentang urusan pribadi seseorang (domestic sphere), tetapi juga informasi tentang riwayat professional dan kehidupan publik seseorang (professional and public life) karena urusan pribadi seseorang juga beririsan dengan urusan publiknya (interpersonal relationship).[3]

Sekilas, informasi seperti nama lengkap, nomor handphone, alamat, nama orang tua, dan foto selfie tidak terlalu kita pikirkan untuk dibagikan di internet. Benarkah demikian? Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa data-data itu penting untuk dilindungi. Sebenarnya pelanggaran terhadap data pribadi ini sudah banyak terjadi, termasuk oleh perusahaan sekaliber Google dan Facebook. Penelitian dari IMDEA mengungkapkan bahwa lebih dari 70% aplikasi smartphone melaporkan data pribadi ke perusahaan pelacakan (tracking) pihak ketiga seperti Google Analytics, Facebook Graph API atau Crashlytics.[4]

Dua tahun belakangan ini Facebook mengalami serangkaian kasus berkaitan dengan data pengguna, mulai dari bocornya data 87 juta data pengguna yang melibatkan konsultan politik Cambridge Analytica sampai pada gugatan Jaksa Agung Washington DC Karl Racine karena dianggap melanggar privasi. Facebook diketahui mengumpulkan data pengguna yang kemudian dibagikan kepada pihak ketiga. Selama bertahun-tahun Facebook dilaporkan membiarkan data penggunanya diakses secara bebas oleh pihak ketiga.[5]

Sementara itu google juga dituntut atas kasus "Wi-Spy" yang mengambil data wifi rumah yang tidak dienkripsi, tanda pengenal, dan data pribadi lainnya. Data ini diambil dari mobil yang digunakan untuk proyek pemetaan Google Street View. Mereka dituduh melakukan pengumpulan data pribadi tanpa persetujuan pengguna. Atas kasus itu dan akumulasi dari 227 kasus pelanggaran data pribadi lainnya, Alphabet Inc, perusahaan yang menaungi Google dikabarkan harus membayar denda sebesar US$11 juta atau sekitar Rp153 miliar (US$1= Rp13,960).[6]

Atas apa yang selama ini terjadi dan bagaimana kultur masyarakat kita terhadap data pribadi, dalam hemat saya muncul setidaknya dua penjelasan. Pertama, masyarakat tidak benar-benar tahu apa yang terjadi dan apa yang bisa dilakukan dengan data pribadi kita. Di jaman internet ini, masyarakat seperti terhegemoni oleh informasi.

Dirjen Aplikasi dan Informatika (Aptika) Kemenkominfo, Semuel Abrijani, dikutip dari CNN, setidaknya menyebut lima alasan pentingnya menjaga data pribadi yaitu, menghindari intimidasi online terkait gender, mencegah penyalahgunaan data pribadi oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, menjauhi potensi penipuan, menghindari potensi pencemaran nama baik, dan hak kendali atas data pribadi.[7]

Masyarakat kita harus disadarkan akan pentingnya informasi pribadi ini. Selama ini kita merasa baik-baik saja membagikan informasi pribadi di internet. Namun, yang terjadi adalah data kita sangat berpotensi digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengambil untung dari akses informasi data kita.


[1] Viktor Mayer-Schönberger, Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work and Think (John Murray 2013), p 75.

[2] https://ppid.kominfo.go.id/jenis-informasi/inf-setiap-saat/data-pribadi-sistem-elektronik/

[3] https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59cb4b3feba88/data-pribadi-dan-dua-dasar-legalitas-pemanfaatannya-oleh--daniar-supriyadi/

[4] https://theconversation.com/7-in-10-smartphone-apps-share-your-data-with-third-party-services-72404

[5] https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190306090007-185-374901/data-facebook-bocor-kekayaan-zuckerberg-kini-hanya-rp878-t?

[6] https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190723123046-185-414646/banyak-pelanggaran-data-pribadi-google-akan-didenda-rp153-m

[7] https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190715201531-185-412391/5-alasan-mengapa-data-pribadi-perlu-dilindungi

Mengapa Orang Suka Membandingkan Sesuatu?

Pernahkah Anda dibandingkan dengan kakak atau adik Anda atau dengan anak tetangga? Pernahkah Anda mendengar perbandingan antara Indonesia dan Singapura? Atau negara bekas jajahan Inggris dengan negara eks jajahan Belanda? Adakah yang salah dengan perbandingan itu?

Berbagai perbandingan itu tidak akan muncul kalau kita tidak bisa mengakses informasi yang kita bandingkan. Misalnya, kita tidak bisa membandingkan antara hewan di planet pluto dengan hewan yang ada di bulan karena kita tidak bisa mengakses informasi mengenai itu.

Akan tetapi, kita juga tidak bisa serta merta membandingkan sesuatu walaupun kita bisa mendapatkan informasi mengenai sesuatu yang kita bandingkan.


Kita tahu bahwa sekarang ini, setiap orang bisa mengakses informasi dari berbagai sumber dan tempat dengan kecepatan yang optimal. Berbagai mesin pencari di internet mampu menemukan informasi yang orang cari dalam hitungan detik. Hal ini tidak terjadi pada orang-orang terdahulu sebelum munculnya internet; ketika manusia masih memanfaatkan bunyi-bunyian, asap, atau meminta bantuan burung untuk menyampaikan pesan dengan jarak dan informasi yang terbatas.

Sejak munculnya internet, orang bisa berbagi sekaligus mendapatkan banyak informasi dalam berbagai platform. Mereka bisa membagikan cerita kehidupan sehari-hari mereka, kondisi lingkungan mereka, atau bahkan keadaan negara mereka. Format informasinya pun tidak terbatas pada tulisan melainkan bisa menampilkan audio visual. Hal itu membuat jarak dan waktu seolah-olah tak berdaya di hadapan internet.

Dengan kemampuan yang demikian ekstensif, orang merasa bisa melihat realitas kehidupan di tempat yang bahkan tidak pernah mereka kunjungi. Konsekuensinya, orang kerap kali membandingkan situasi yang ada di sekitarnya dengan situasi yang mereka dapatkan di internet, di tempat lain. Misalnya, orang bisa membandingkan kehidupan di desa dan di kota, situasi di dalam dan di luar negeri, dan lain sebagainya. Sebagai perbandingan, hal itu sah-sah saja dilakukan.

Pertanyaannya adalah mengapa kita suka membanding-bandingkan sesuatu. Ini karena kita ingin mengetahui nilai dari perbandingan itu; manakah yang lebih diantara yang diperbandingkan! Sayangnya, kerap kali kita tidak apple to apple dalam membandingkan sesuatu itu. Perbandingan yang tidak setara itu dijadikan dasar untuk menilai sesuatu; satu hal lebih baik atau buruk dibandingkan sesuatu yang lain.

Sunday 7 July 2019

Pencarian yang Hakiki


Orang sering menyimpul (ke)benar(an)
Namun semesta terus mengelak
Gejalanya mengungkapkan tidak
Fenomenanya mengucapkan bukan

Awalnya orang menyangka dari pendengaran
Tapi ia tak bisa beriba pada yang tuli

Kemudian ia mereken dengan penglihatan
Namun tak juga berempati pada yang buta

Lantas ia mempersepsi dari ucapan
Ah, bagaimana mewakili mereka yang bisu?

Ia lalu memadukan segala panca indera
Semua tiada bisa menjelaskan bagaimana batu merasa

Mereka terus mencari apa yang merepresentasiknnya
Belum juga menemukan bagaimana nasib bebatuan
Tiba-tiba angin berbisik menggerakkan dahan:
Bagaimana yang tak berbentuk bisa mencinta?

Yang dianggap usai sejatinya belum selesai
Semilirnya sekali lagi berwasiat,
Tiadalah pernah berhenti

Tilburg, 7 Juli 2019

Thursday 13 June 2019

Sepeda (Fiets) di Belanda

Oleh: Mukh Imron Ali Mahmudi

Pit model ngene iki ngelengke aku karo ceritone Pae. Ngendikone Pae, tuku pit sakwise disunat iku dadi koyok ritual wong-wong mbien seng kudu dilakoni kanggo iming-iming wong sunat. Mergane, sunat mbien ki bedo yen dibandingke wong sunat saiki. Bedone opo? Yen sunat mbien, saiki wes mari. Yen sunate saiki, yo iki sek kroso to yo.

Jarene sih wong sunat mbien iku mangane opak usek, tahu tempe godok ra entok macem-macem. Yen ra ngono jarene sih aboh, njuk perih. La bocah saiki malah mangan sak karepe dewe, ono seblak, ono olos, tahu aci, megono, soto, bakso, daging, pangan kabeh. Malah koyo wong ngidam, pirang-pirang kudu dituruti. Mbokne seng repot.
Tapi ngene gais, mbalik neng Pit. Pit mau ki koyo dene hadiahe Bapak kanggo Anake. Semono ugo karo Pae, mbien yo ditumbaske Pit Unto karo Simbah. Pit mau banjur dadi banget pentinge kanggo Pae soale jaman semono ora akeh seng iso nduweni Pit. Pit mau ditumpaki moro neng ndi wae panggonan sak kemenge sikil. Mboh moro sekolah, madrosah, ngaji, ngaret, macem-macem pokoke numpak pit. Malah koncone Pae ono seng moro Pulo Bali numpak Pit. Edan pora kwi!

Pit Unto mau yo ora didol sampe Pae nikah. Malah nyampe aku lahir yo sek menangi kok. Ngerti-ngerti malah dikekne tonggoku. Saiki aku wes ra tau weruh Pit kui.

Ing jaman seng jare wong-wong barat kono jaman disrupsi, Pit iki mung dienggo karo bongso tukang tani, tukang matun, tukang angon kebo, sapi, wedus, lan rojo koyo liyane. Oh iyo, tukang ngingu truwelu, yen wong tuo, yo ngarite numpak Pit Unto. Pokoke mung generasi jaman-ora-enak seng iseh nganggo pit-pit model ngene iki neng ndesoku. Model liyane yo Pit Jengki, seng sadele atos tur njengat, marakke bokonge tepos lan panas.

Aku dewe sakwise sunat tukune pit Polygon seng ono kranjange. Jaman semono iseh usum wong-wong nduweni Polygon, apik ono lampune, sadele iso dimunggahmudunke, ono gigine dadi penak nggo banter utowo lindikan. Trus aku yo tuku skotlet, tak hias-hias, kei spion, macem-macem ben tonggone iri.

Tapi jaman SMA, wes ora akeh seng nganggo Pit. Opo maneh cah lanang, do ndue kleb motor. Dadi pantes yen do mbolos. Lah aku dewe malah rugi yen mbolos, wes kesel numpak pit adoh-adoh seko omah, malah ra melu pelajaran. Kan pekok. Yen tak eleng-eleng, sak sekolahan ki kiro-kiro mung wong 4 lanange seng nganggo Pit, liyane motor kabeh, ugo ono seng numpak angkudes utowo bis. Mboh saiki sek usum po ora bocah sekolah numpak Pit.

Lah iki seng aku heran, wong-wong Londo ki yen kuliah malah do numpak Pit Unto. Ngono ki yo pit e elek-elek san. Palek e nieng, rantene garing, renteng koyok meh tugel, kadang-kadang rem e blong. Tapi seng unik, gemboke ki apik-apik, koyo-koyo lueh larang tinimbang pit e. Mergane akeh wong maling Pit. Jan guris tenan seng dimaling Pit! Tapi mayan sih, regone kisaran 50 sampe ono seng saknduwure 100 yuro. Mangkane delok wae iku neng gambar, Pit e digembok nganggo rante digubet-gubetke neng parkiran, kadang-kadang rantene lueh gedi tinimbang rante asu.

Wednesday 1 February 2017

Ban Hoax! (Eng)~

Ketika saya mengetik kata hoax di google, muncul di urutan teratas yaitu arti kata dalam bahasa inggris: a humorous or malicious deception (n) yang berarti sebuah penipuan lucu atau jahat. Tidak ada pengertian atau tautan berbahasa Indonesia yang muncul di halaman pertama search engine google untuk kata hoax. Memang, kata hoax belum diserap dalam bahasa Indonesia. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia sudah sangat sering menggunakan kata hoax dalam komunikasi sehari-hari maupun seminggu-minggu.
Baru-baru ini saya mengalami fenomena perhoaxan nasional. Kala perjalanan ke Solo dengan seorang jomblo, saya mendapati ban belakang motor saya bocor. Setelah berdebat lama akhirnya kami putuskan menambalkannya. Oke beres. Tapi setelah melanjutkan perjalanan dengan jarak tempuh (s) kira-kira 6,5 km lebih 3 meter plus 2 langkah bayi laki-laki umur setahun dengan kecepatan (v) 80 km/h, ban motor saya bocor lagi. Pertanyaannya, berapa waktu (t) yang digunakan untuk perjalanan kami? Tapi sebelum menjawab pertanyaan nggak berguna itu, akhirnya saya memutuskan untuk mampir ke warung ban dan melakukan tambal ban dengan seksama tanpa proses perdebatan. Di tengah proses tambalisasi itu, si tukang berpendapat bahwa ban luar harus diganti karena ia mendapat temuan cacat yang bisa merusak ban dalam. Saya menuruti saja hasrat si tukang tambal itu. Agar variatif maka saya ganti ban dalam baru dan ban luar bekas sehingga tidak terkesan monoton. Oke. Masalah beres lagi.
Selang sepekan, ban saya kok bocor lagi. Saya jadi curiga, apa ada yang menublesi ban saya ketika saya berkendara atau bagaimana. Sontak saya langsung membaca buku-buku teori sosiologi klasik, modern, dan posmo untuk menganalisis fenomena ini,  akhirnya saya berhipotesa bahwa ban dalam motor saya yang saya beli di Salatiga itu adalah produk perusahaan kapitalis sehingga sudah dibatasi umurnya agar kita terus membeli dalam jangka waktu tertentu. Sial. Teman saya yang lain, jomblo juga, saya minta menambalkan untuk menguatkan hipotesis saya. Dan benar, malamnya langsung bocor lagi.

Oke, kali ini saya tak ingin dianggap seperti keledai, yang terperosok ke lubang yang sama sehingga saya bawa ke dokter spesialis ban Mas Tamtam, M.Bal,. Setelah riset panjang, mendengarkan argumen saya, bantahan dari teman saya, akhirnya Mas Tam bersintesis bahwa ban njobo saya adalah ban hoax. Ia menganalisis dari ukiran-ukiran yang ada di ban itu, ketajamannya, polanya, dsb. Ban tersebut adalah ban bekas yang diukir kembali menggunakan silet sehingga pola kembangnya terlihat dalam lalu dijual kembali pada konsumen ban jalanan. Ban tersebut terlihat bagus karena ukirannya masih dalam dan dipoles dengan bahan pengkilap supaya nampak baru. Eng ing eng.
Alih-alih sering digunakan dalam komunikasi, ternyata hoax kini sudah menjadi laku bagi sebagian orang. Sampai-sampai tukang tambal ban pun mengamalkan ini. Saya awalnya berniat sakit hati, tapi i'tikad mulia itu saya urungkan. Saya kembali menengok pada definisi hoax yang ada di google tadi bahwa ini hanya tipuan yang lucu. Meskipun ada pengertian lain yang mendefinisikan ini sebagai tipuan yang jahat, tapi saya pilih yang mula-mula saja biar tidak kecewa terlalu berlarut dan menghabiskan energi bangsa ini. Bagaimanapun juga, baik jahat atau lucu, yang namanya penipuan tetap pedih di mata, sobat. Jangan.
Pesan saya untuk tukang tambal ban: semoga anda bisa tetap melucu dengan cara yang elegan. Untuk konsumen ban bekas: tertawalah kalau banyak orang melakukan kelucuan. Tapi ingat, jangan lupa berbaik sangka karna ini hanya tipuan yang lucu. Meski menyakitkan.

#BanHoax
#TolakHoax
#TerimaKelucuan

Tuesday 2 August 2016

Menawar Kwaci dengan Bahasa Inggris

~Siang tadi (30/7/'16) saya sholat di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Usai sholat, saya melihat banyak orang melihat keindahan ukiran dan beberapa pameran yang ada di MAJT. Saya tertarik mendekati Bedug. Disana ada seorang yang kalau saya baca dari jidatnya adalah orang Pakistan yang juga sedang melihat bedug, sebut saja Rahul. Lalu terjadi percakapan diantara kami.
Rahul: أحبتي محد الط في المملكة الع ودة ربية الس العة ربية السعودية لم عودية لم ب في المملكة #zzzzz
Me: I'm sorry, i don't speak arabic (maaf, saya tidak berbicara bahasa arab) Hahaha! Sudah bicara panjang tapi dengan PD saya menjawabnya dengan bahasa Inggris.
Rahul: Oh yeah. What .... ..... .....
Malang benar, ia langsung membalasnya. Mulutnya mendrimimilkan tiga kalimat yang hanya bisa saya hitung jumlahnya tapi tak saya pahami maksudnya.
Me: Sorry? (Maaf?)
Rahul: ..... drum... praying...
Saya belum bisa memahami karena masih terlalu cepat & logatnya juga berbeda. Ah ini cuma alasan
Me: Pardon me (maaf ulangi)
Wajahnya menunjukkan kekesalan usai kalimat cepat dan panjangnya saya respons dengan dua kata.
Rahul: This is drummed before praying time, right? (Ini dipukul sebelum waktu sholat kan?)
Kalimatnya tak seperti yang sebelumnya. Ia berbicara lebih pelan dan sederhana.
Me: That's right. (Ya benar)
Mulai menangkap apa yang ia bicarakan
Rahul: Now? Is that still done until now? (Apakah ini masih dilakukan sampai sekarang?)
Me: Not more (tidak lagi)
Rahul: What are you? (Siapa kamu?)
Me: I'm student (Saya mahasiswa)
Rahul: Why are you here? (Kenapa kamu disini?)
Me: I just attend the agenda at the bottom floor (Saya menghadiri acara di lantai bawah)
Rahul: You are a student, but you can't speak english (Kamu mahasiswa, tapi kamu tak bisa bahasa Inggris)
Dia mengangkat tangannya seakan tak percaya pada apa yang baru saja terjadi. Saya langsung membayangkan ekspresi congkak Jose Mourinho ketika menjawab pertanyaan wartawan.

"Gundul-gundul pacul gembelengan, nyunggi-nyunggi wakul gembelengan, wakul ngglimpang segane dadi sak ratan..."
Pie perasaanmu?
Saya langsung ingin nyanyi gundul-gundul pacul dan nari sufi mengelilingi orang tersebut.
Selama ini kita sangat jarang mendengar orang berbicara bahasa Inggris layaknya ia berbicara di pasar, menawarkan makanan, "cangcimen.. cangcimen, kacang kwaci permen", & orang marah secara natural dengan bahasa Inggris yang sama sekali berbeda dengan mendengarkan orang mempresentasikan makalah. Saya hanya mendengarkan orang nyanyi bahasa Inggris, atau percakapan di soal-soal listening TOEFL / IELTS, berbicara dengan native speaker hanya ketika meminta foto di tempat pariwisata & menjawab pertanyaan "Dimana saya bisa menemukan toilet?" saat konferensi Internasional atau pertanyaan "Apa password wifi di tempat ini?" & "Dimana tempat duduk mahasiswa asing?" ketika acara-acara seminar Internasional.

Hay bung, tunggu aku! Saya akan menawar kwaci dengan bahasamu!

Ps: percakapan diatas saya sederhanakan dan saya transkrip sesuai dengan apa yang saya tangkap. Kesamaan tokoh dan cerita hanya disengaja. Tak lebih.

Tuesday 5 April 2016

7 Tips Jitu Ngadepin Ujian

Halo anak-anak SMA gawl yang lagi UN! Mungkin lo gak sempet baca ini karena lo lagi pada sibuk Twitteran ngatur strategi buat UN yah! Tapi kali aja kakak lo baca atau ada mahasiswa yang lagi nyari bahan buat copy paste makalah tapi malah nemuin tulisan gak berguna ini. Halo kak! Please share ke adek-adek lo yang besok UN ya. Oke, ini tujuh tips jitu dari gue:

1. Pastiin lo kelas XII SMA/Sederajat

Udah itu cek dulu gih Kartu Pelajar lo. Gue gak mau lo nyesel udah mbaca tips membahana ini tapi lo masih kelas 3 SD.

2. Persiapin alat

Malem sebelum lo ujian, persiapin deh tu alat yang lo butuhin buat ngerjain soal UN. Misalnya pensil 2B, penghapus 2B, penggaris 2B, dan HP 2B yang khusus buat UN aja. Kalo lo butuh kacamata, jangan lupa bawa yang 2B ya. Nggak usah bawa kacamata 3D apalagi kacamata buat nonton Gerhana Matahari, takutnya ntar malah jawaban lo ketutup ama bulan. Kan repot.

3. Belajar

Lo musti belajar mata pelajaran yang bakal diujiin. Lo gak perlu belajar nyetir dulu  karena ini UN, bukan ujian bikin SIM C atau casting sinetron anak jalanan buat jadi peran penggantinya Si Boy.

4. Dateng di Awal Waktu

Lo musti dateng ke tempat tes minimal setengah jam sebelum tes. Lebih lama lebih bagus. Tapi jangan lama-lama, ntar lo bosen nunggu dan mood lo berantakan. Cukup muka lo aja yang berantakan. Mood lo jangan.
Kenapa lo musti dateng awal? Karena lo musti ngecek tempat tes lo. Gue dulu nggak di kelas gue yang biasa soalnya. Jadi lo musti nyari, kali aja di kantin, di UKS, di mushola, di ruang BK, atau di sanggar Pramuka. Oiya lo juga nggak bisa duduk di posisi kesayangan lo atau di bangku yang bisa lo pilih seenak jidat kayak pas sekolah biasa. Sama kayak nasib percintaan lo, semuanya udah ada yang ngatur. 

5. Isi identitas

Lo musti lengkapi identitas lo di LJK. Kolom nama ya diisi nama. Kolom tanggal lahir ya diisi tanggal lahir. Kalo salah, dihapus. Kalo nggak tau, ditanyain. Kalo kebelet, ditahan. Kalo kentut, jangan bilang-bilang karena ini rahasia Negara, tidak diperjualbelikan!

6. Bertanya dengan Elegan

Kerjain soal yang mudah dulu yes. Kalo yang mudah udah semua, giliran yang tua susah. Kalo nggak bisa? Ya.. bertanyalah berdoalah. Barangkali paket soal lo beda sama temen-temen lo, jangan tanya sembarangan yes. Tanya sembarangan tu misalnya: “Lo udah putus belom ama pacar lo?” atau “Lo kentut ya?” Sekali lagi jangan! Lo juga jangan berharap lebih ke temen lo ketika lo tanya. Ntar di-PHP-in deh. Pertanyaan lo musti elegan. Misalnya: “Lo jadi sayang nggak sama gue? Kalo nggak kasih tau jawaban nomer 31 dong!” kalo belum berhasil lo musti naikin standar elegan lo. Kasih pertanyaan ke dia: “Gue ganteng nggak? Kalo nggak kasih liat jawaban nomer 23 dong!” Kasih plastik ke dia barangkali dia muntah. Trus tunggu jawaban dari dia, pasti dikasih deh!

Catatan gue: lo musti ati-ati! Jangan sampe gerak-gerik lo kegep sama pengawas ujian ya. Lo bisa nyamar pake pakean TNI atau pake daun-daun di kepala lo biar pengawas lo nggak tau. Tapi ntar pengawasnya malah bingung, lo mau ujian atau main Pain Ball! Oke lo bisa pake kode aja. Tapi yang perlu diinget, jangan pake kode yang orang lain nggak mudeng. Udah idup lo rumit, masih aja lo pake kode yang rumit saat UN. Jangan! Bagi lo remaja tunas kelapa, jangan pake sandi morse, nggak lucu lo mainan bendera saat UN! Juga jangan pake peluit ntar lo dikira wasit El Classico! Jangan pake kode batuk-batuk, kalo soalnya 50 ntar jadi paduan suara kalo semuanya ditanyain.
Tapi sebisa mungkin jangan tanya lah ya.. lo kan anak gawl, jadi kalo mau tanya buat pantes-pantes aja. Tanya kabar misalnya.

7. Periksa Jawaban

Lo musti teliti dan ati-ati! Lihat dulu perintahnya apa? Kalo suruh baca ya dibaca. Kalo suruh kerjain ya dikerjain. Kalo suruh pilih jawaban ya dipilih. Jangan sampe ada perintah yang nggak lo turutin. Jaga sikap juga ke pengawas, bayangin aja tu pengawas adalah calon mertua lo. Jadi lo musti sopan. Kalo bisa lo bawa mahar berupa kambing atau seperangkat alat sholat biar lo mendalami bayangan lo.

Itu aja dulu deh tips dari gue. Gimana? Nggak berguna kan? Yasudahlah nggak papa. Aku mah apa atuh. #Baper

Oke lo bisa nambahin di kolom komentar tips and trik ini biar waktu lo kebuang lebih banyak lagi ngurusin tulisan ini. Tengkyu J

Thursday 26 November 2015

Mbak Bule dan Warteg~

Malam yang lapar itu aku duduk di warung tegal (warteg) Bu Dewi depan kampus MIPA Unnes. Tidak lama, seorang pelayan kecil segera menyuguhiku makanan yang sudah aku tunjuk dari luar kaca tempat menyimpan lauk pauk; nasi, kering tempe, teri, dan gorengan. Beberapa suapan berlangsung, ada seorang datang, masuk dari pintu samping kanan dari posisiku duduk, tampak asing, kulitnya putih, rambutnya dipocong pendek di belakang, dahinya berkeringat tampak gerah (kepanasan), mengenakan kaos putih, ujung samping kaosnya berhenti sampai lengan, ujung celananya jatuh sampai tepat di bawah lutut. Beberapa detik aku memandanginya karena cukup "beda". Dia foreigner atau bule atau orang luar negeri, aku simpulkan dari kenampakan fisiknya. Semakin yakin ketika mendengarnya melafalkan "es teh", dia mengucap "ais ti" setelah ditanya "Pesan apa mbak?" oleh anak kecil yang sama yang melayaniku tadi. Juga yang ia pesan adalah nasi, tempe kering, kentang, dan ikan bawal (atau nila) saya tak cukup tahu namanya karena dia hanya menunjuk saja tidak bicara dan pelayannya juga menanggapinya dengan "Oh ini, apa lagi, iya, terus?" dsb.
Sambil dibungkuskan nasi dan menunggu es teh yang ia pesan, ia mengeluarkan uang dari, entah dompet hadiah dari toko emas mana, tapi tampak simpel. Lalu ia segera mengeluarkan sejumlah uang yang disebutkan pelayan tadi. Belum sampai memberi uang pada pelayan, ada pelanggan perempuan lain (Indonesia) datang dari pintu yang sama. Karena jalannya tertutup oleh mbak bule tadi, pelanggan yang baru masuk itu mengucap "eks kyus mi" (tulis: Excuse me), terdengar fasih. Dan mbak bule pun menjawab "monggo..." terdengar tak fasih tapi tampak sangat seksi. Sialan, sangat sialan, pikirku sambil senyum-senyum. Mbak bule itu pun menukar uangnya dengan apa yang pelayan bawa, bungkusan nasi dan es teh. Dan segera keluar melalui pintu yang sama dengan ketika ia masuk. Berjalan. Menang, dia menang. Haha
(Nov'15/Smg)