Belum lama ini, seorang dokter dikenai sanksi menyapu jalan karena ia diketahui tidak mengenakan masker ketika mengendarai mobil pribadinya. Ini adalah paradoks; seseorang yang setiap harinya menangani penyembuhan pasien covid 19, dikenai sanksi oleh seorang polisi karena pelanggaran protokol kesehatan; pencegahan penyebaran virus corona.
Dari peristiwa itu, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta ‘menggugat’ soal orang yang berkendara menggunakan mobil pribadi saat sendirian tidak perlu dikenai aturan tersebut. Ringkasnya, ada argumentasi medis yang harus dipahami oleh pihak kepolisian soal aturan wajib bermasker saat di kendaraan.
Meskipun seorang dokter mungkin saja melakukan pelanggaran
terhadap protokol kesehatan, ini menyiratkan bahwa pemegang otoritas pengetahuan-kebenaran
tidak berarti sekaligus pemegang otoritas kekuasaan. Filsuf Perancis, Michel
Foucault atau filsuf lain yang lebih dulu mengatakannya, nampaknya harus
merevisi kata-katanya soal ‘knowledge is
power’.
Kenyatannya, seorang polisi yang memegang otoritas
kuasa-kewenangan, bisa menegur seorang dokter yang memegang otoritas
pengetahuan soal kesehatan, ketika dia melanggar ketentuan yang diberlakukan
dalam kewenangan kebijakan. Power is
power!
Jika kita kembali melihat ke awal munculnya virus corona, tumpang
tindih soal otoritas ini sudah banyak terjadi. Ketika belum memasuki Indonesia,
fenomena merebaknya wabah virus ini justru banyak dikomentari oleh para
politisi dan bahkan pemuka agama alih-alih pakar kesehatan.
‘Virus Corona adalah hukuman
Tuhan untuk penindas Suku Uighur’, ‘tembakau
atau bawang putih sebagai obat covid 19’, atau soal ‘virus Corona yang tak bisa masuk negara tropis’ adalah pernyataan spekulatif
yang dulu sering kita dengar; tidak
didasarkan pada penelitian dari para ahli virologi.
Komentar-komentar itu bercampur baur dengan informasi vital yang
semestinya diterima masyarakat Indonesia. Sampai kemudian virus itu masuk ke
dalam negeri, kita gagap mengidentifikasi penyebab, penyebaran, dan cara
mencegah virus tersebut.
Logika Ketidakpatuhan
Sampai sekarang, tujuh bulan pasca virus Corona masuk Indonesia,
masyarakat kita masih gagal memahami siapa yang harus dipercaya soal Virus
Corona ini. Tarik ulur kebijakan pemerintah, berbagai perdebatan istilah yang
digunakan, atau komentar-komentar politisi soal vaksin atau obat untuk covid-19
masih sering didengar oleh masyarakat.
Isu-isu negatif yang menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat pada
pemerintah, tenaga kesehatan, bahkan pada virus itu sendiri beredar, linear
dengan masifnya penyebaran virus corona. Banyak masyarakat yang meyakini bahwa pemerintah
bermain-main dengan kasus ini; semakin banyak kasus, semakin banyak anggaran yang
bisa ‘dimanfaatkan’. Tenaga kesehatan atau pihak rumah sakit juga dianggap
memanfaatkan situasi ini; banyak pasien yang sebenarnya tidak jelas statusnya,
dilabeli positif covid-19 agar uang cair.
Selain isu tersebut, fenomena lucu dan miris juga terjadi di
masyarakat. Pasar mendadak sepi karena kabar akan ada rapid test atau tes swab bocor di kalangan penjual. Mereka meyakini
siapa saja bisa dilabeli ‘positif’ setelah tes tersebut meskipun mereka merasa
baik-baik saja. Secara logika, pilihan untuk tidak tes adalah yang terbaik
meskipun mereka berkemungkinan terpapar virus corona.
Tes yang sejatinya justru memberi ketenangan karena memberikan
kepastian akan status seseorang, justru dihindari masyarakat. Hal tersebut menunjukkan
ketidakpercayaan masyarakat bahkan pada metode saintifik yang hasilnya pasti.
Yang lebih lucu lagi, cerita soal nenek-nenek yang menitipkan
salam untuk corona setelah menerima bingkisan sembako bantuan untuk masyarakat
terdampak wabah, atau cerita soal orang-orang yang berharap agar corona tidak
cepat usai karena mereka senang menerima bantuan. Itu menyiratkan bahwa
seolah-olah mereka tidak akan terkena virus itu sendiri.
Dengan ketidakpercayaan yang berkembang di masyarakat, jangan
terlalu berharap langkah-langkah pencegahan seperti menjaga jarak dan memakai
masker bisa disiplin diterapkan. Protokol kesehatan menjadi formalitas kegiatan
masyarakat tanpa diiringi kesadaran akan bahaya penyebaran virus corona.
Lalu apa respons pemerintah sementara ini atas ketidakdisiplinan
itu?
Baru-baru ini aturan yang dianggap sebagai protokol kesehatan ini
kembali digalakkan. Presiden menunjuk seorang Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman dan Investasi Indonesia untuk menekan penyebaran covid di sembilan
provinsi, berbagai daerah menggelar razia kedisipilinan terhadap protokol
kesehatan, pihak kepolisian mengerahkan preman untuk mengawasi warga di pasar
agar taat protokol kesehatan, berbagai kepala daerah juga membentuk tim pemburu
untuk para pelanggar protokol kesehatan, dan lain sebagainya.
Apakah semua itu mengembalikan kepercayaan masyarakat? Apakah
langkah itu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk ikut menghambat penyebaran
virus corona?
Kesan yang justru muncul adalah bahwa pencegahan covid-19 bukan
urusan kesehatan, melainkan urusan politisi, preman, polisi, dan ‘para
pemburu’. Selain itu, dengan mengerahkan berbagai ‘pasukan penyidak’ itu,
secara tidak langsung juga menyiratkan bahwa ketidakpatuhan masyarakatlah
penyebab melonjaknya kasus positif virus corona ini.
Lalu otoritas mana yang harusnya bekerja dalam menangani persoalan
covid 19 ini?
Bagaimanapun juga, otoritas pengetahuan soal covid 19 ini menjadi
milik para pakar kesehatan, ahli virologi, dan tenaga kesehatan. Para tenaga
kesehatanlah yang memiliki fakta dan kebenaran ilmiah yang tidak bisa ditolak.
Sementara, sesuatu yang dibawa oleh para agamawan, tokoh, politisi, polisi,
preman hanya akan mentok menjadi seruan moral, nilai, norma, dan aturan yang
bisa dihindari.
0 comments:
Post a Comment