Sunday 27 September 2020

Berebut Otoritas Melawan Virus

Belum lama ini, seorang dokter dikenai sanksi menyapu jalan karena ia diketahui tidak mengenakan masker ketika mengendarai mobil pribadinya. Ini adalah paradoks; seseorang yang setiap harinya menangani penyembuhan pasien covid 19, dikenai sanksi oleh seorang polisi karena pelanggaran protokol kesehatan; pencegahan penyebaran virus corona.

Dari peristiwa itu, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta ‘menggugat’ soal orang yang berkendara menggunakan mobil pribadi saat sendirian tidak perlu dikenai aturan tersebut. Ringkasnya, ada argumentasi medis yang harus dipahami oleh pihak kepolisian soal aturan wajib bermasker saat di kendaraan.

Meskipun seorang dokter mungkin saja melakukan pelanggaran terhadap protokol kesehatan, ini menyiratkan bahwa pemegang otoritas pengetahuan-kebenaran tidak berarti sekaligus pemegang otoritas kekuasaan. Filsuf Perancis, Michel Foucault atau filsuf lain yang lebih dulu mengatakannya, nampaknya harus merevisi kata-katanya soal ‘knowledge is power’.

Kenyatannya, seorang polisi yang memegang otoritas kuasa-kewenangan, bisa menegur seorang dokter yang memegang otoritas pengetahuan soal kesehatan, ketika dia melanggar ketentuan yang diberlakukan dalam kewenangan kebijakan. Power is power!

Jika kita kembali melihat ke awal munculnya virus corona, tumpang tindih soal otoritas ini sudah banyak terjadi. Ketika belum memasuki Indonesia, fenomena merebaknya wabah virus ini justru banyak dikomentari oleh para politisi dan bahkan pemuka agama alih-alih pakar kesehatan.

Virus Corona adalah hukuman Tuhan untuk penindas Suku Uighur’, ‘tembakau atau bawang putih sebagai obat covid 19’, atau soal ‘virus Corona yang tak bisa masuk negara tropis’ adalah pernyataan spekulatif yang dulu sering  kita dengar; tidak didasarkan pada penelitian dari para ahli virologi.

Komentar-komentar itu bercampur baur dengan informasi vital yang semestinya diterima masyarakat Indonesia. Sampai kemudian virus itu masuk ke dalam negeri, kita gagap mengidentifikasi penyebab, penyebaran, dan cara mencegah virus tersebut.

Logika Ketidakpatuhan

Sampai sekarang, tujuh bulan pasca virus Corona masuk Indonesia, masyarakat kita masih gagal memahami siapa yang harus dipercaya soal Virus Corona ini. Tarik ulur kebijakan pemerintah, berbagai perdebatan istilah yang digunakan, atau komentar-komentar politisi soal vaksin atau obat untuk covid-19 masih sering didengar oleh masyarakat.

Isu-isu negatif yang menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah, tenaga kesehatan, bahkan pada virus itu sendiri beredar, linear dengan masifnya penyebaran virus corona. Banyak masyarakat yang meyakini bahwa pemerintah bermain-main dengan kasus ini; semakin banyak kasus, semakin banyak anggaran yang bisa ‘dimanfaatkan’. Tenaga kesehatan atau pihak rumah sakit juga dianggap memanfaatkan situasi ini; banyak pasien yang sebenarnya tidak jelas statusnya, dilabeli positif covid-19 agar uang cair.

Selain isu tersebut, fenomena lucu dan miris juga terjadi di masyarakat. Pasar mendadak sepi karena kabar akan ada rapid test atau tes swab bocor di kalangan penjual. Mereka meyakini siapa saja bisa dilabeli ‘positif’ setelah tes tersebut meskipun mereka merasa baik-baik saja. Secara logika, pilihan untuk tidak tes adalah yang terbaik meskipun mereka berkemungkinan terpapar virus corona.

Tes yang sejatinya justru memberi ketenangan karena memberikan kepastian akan status seseorang, justru dihindari masyarakat. Hal tersebut menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat bahkan pada metode saintifik yang hasilnya pasti.

Yang lebih lucu lagi, cerita soal nenek-nenek yang menitipkan salam untuk corona setelah menerima bingkisan sembako bantuan untuk masyarakat terdampak wabah, atau cerita soal orang-orang yang berharap agar corona tidak cepat usai karena mereka senang menerima bantuan. Itu menyiratkan bahwa seolah-olah mereka tidak akan terkena virus itu sendiri.

Dengan ketidakpercayaan yang berkembang di masyarakat, jangan terlalu berharap langkah-langkah pencegahan seperti menjaga jarak dan memakai masker bisa disiplin diterapkan. Protokol kesehatan menjadi formalitas kegiatan masyarakat tanpa diiringi kesadaran akan bahaya penyebaran virus corona.

Lalu apa respons pemerintah sementara ini atas ketidakdisiplinan itu?

Baru-baru ini aturan yang dianggap sebagai protokol kesehatan ini kembali digalakkan. Presiden menunjuk seorang Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia untuk menekan penyebaran covid di sembilan provinsi, berbagai daerah menggelar razia kedisipilinan terhadap protokol kesehatan, pihak kepolisian mengerahkan preman untuk mengawasi warga di pasar agar taat protokol kesehatan, berbagai kepala daerah juga membentuk tim pemburu untuk para pelanggar protokol kesehatan, dan lain sebagainya.

Apakah semua itu mengembalikan kepercayaan masyarakat? Apakah langkah itu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk ikut menghambat penyebaran virus corona?

Kesan yang justru muncul adalah bahwa pencegahan covid-19 bukan urusan kesehatan, melainkan urusan politisi, preman, polisi, dan ‘para pemburu’. Selain itu, dengan mengerahkan berbagai ‘pasukan penyidak’ itu, secara tidak langsung juga menyiratkan bahwa ketidakpatuhan masyarakatlah penyebab melonjaknya kasus positif virus corona ini.

Lalu otoritas mana yang harusnya bekerja dalam menangani persoalan covid 19 ini?

Bagaimanapun juga, otoritas pengetahuan soal covid 19 ini menjadi milik para pakar kesehatan, ahli virologi, dan tenaga kesehatan. Para tenaga kesehatanlah yang memiliki fakta dan kebenaran ilmiah yang tidak bisa ditolak. Sementara, sesuatu yang dibawa oleh para agamawan, tokoh, politisi, polisi, preman hanya akan mentok menjadi seruan moral, nilai, norma, dan aturan yang bisa dihindari.

0 comments:

Post a Comment