Thursday 18 September 2014

Bicara Gender: Power and Powerless

Oleh:
Mukh. Imron Ali Mahmudi*
Lebih dari Kasus
Seorang Pria berkebangsaan Nepal, bernama Farid Sheikh bersama orangtuanya menyiramkan bensin ke tubuh sang istri yang baru berusia 25 tahun dan tengah hamil tujuh bulan. Saat kejadian itu, mereka membawa wanita itu ke India untuk pengobatan. Saat itu mereka mengatakan bahwa wanita itu mengalami kecelakaan. Kondisi wanita itu memburuk dan akhirnya keguguran. Sebuah kelompok pembela HAM Nepal mengatakan membawa wanita itu ke sebuah rumah sakit di ibu kota Kathmandu dalam kondisi kritis. Seluruh tubuh bagian bawah wanita itu penuh luka yang ditutup kain perban.
Kejadian ini terjadi pada bulan April. Namun baru dilaporkan ke kepolisian di distrik Banke, Nepal Barat oleh Ayah korban pada Selasa, 5 Mei 2014 setelah mengetahui kondisi kandungan putrinya mengalami keguguran akibat perlakuan buruk sang suami. Saat ini, Sheikh dan keluarganya masih menjadi buronan polisi karena dikabarkan menghilang.
Aksi brutal ini dilakukan sebagai upaya Sheikh menuntut mahar berupa sebuah sepeda motor dan seekor kerbau dari keluarga sang istri. Sang istri mengungkapkan bahwa si suami kerap menyiksanya dan mengatakan dia tak memberi mahar. Sang suami bahkan menyundut kemaluan istrinya menggunakan bara rokok. Di Nepal dan India, sesuai tradisi, keluarga mempelai wanita memberikan mahar yang diminta keluarga mempelai pria agar pernikahan bisa dilangsungkan. Meski pemerintah kedua negara itu melarang praktik pemberian mahar yang sering kali menyulitkan keluarga pihak wanita, tetapi tradisi ini masih terus dipraktikkan.
Dosa Ganda
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Astuti, 2011). Sementara itu, Huzaemah (2014) menjelaskan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual merupakan suatu bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal -hal yang berkenaan dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual antara laki -laki dan perempuan.
Dalam kasus ini, Sheikh secara umum dikategorikan melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang dalam hal ini adalah dengan melakukan penyiraman bensin dan juga melakukan pembakaran. Selain itu, secara khusus dia juga melakukan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap istrinya dengan menyundut alat kelamin istrinya dengan bara rokok. Bahkan lebih lanjut dia juga melakukan tindakan penipuan dengan mengatakan bahwa istrinya mengalami kecelakaan saat ditanya oleh petugas kepolisian mengenai keberadaan istrinya yang dibawa ke India untuk pengobatan.
Lebih lanjut, kekerasan yang dialami sang istri tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisik dan seksual saja. Kekerasan yang dilakukan Sheikh sekaligus adalah termasuk kekerasan psikis. Kekerasan psikis sendiri menurut UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) (dalam Astuti, 2011: 97) adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Dalam kasus ini, sang istri tentu saja mengalami ketakutan yang mendalam serta tidak mampu berbuat apa-apa karena disiram bensin oleh suaminya bahkan juga dibantu oleh orang tua si suami. Tentu saja si korban tidak mampu melawannya. Selain karena kalah dalam hal jumlah, kondisi pada waktu itu adalah sedang mengandung bayi yang berumur tujuh bulan. Tekanan psikis tidak hanya dialami si perempuan pada saat kejadian, kekerasan yang dialaminya tentu saja akan menimbulkan rasa trauma dan juga malu pada kehidupan di kemudian hari yang akan dijalani si perempuan.
Astuti (2011:94) menjelaskan bahwa kekerasan perempuan merupakan produk sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan menomorsatukan kepentingan dan perspektif laki-laki, sekaligus menganggap perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah daripada laki-laki.
Pandangan tersebut mengandung konsekuensi bahwa laki-laki Nepal maupun India bisa saja memeras perempuan karena kebutuhannya berupa mahar pernikahan tidak dapat dipenuhi oleh perempuan yang dinikahinya. Dalam hal ini, sebenarnya pernikahan sudah terjadi, bahkan si perempuan sudah dalam kondisi hamil tujuh bulan. Namun karena mahar belum dipenuhi, si suami merasa memiliki piutang pada istrinya. Artinya, selama sang istri belum membayar hutangnya, selama itu pula ia dibawah kendali laki-laki. Perempuan dikondisikan dalam keadaan tergantung dan merasa berhutang budi pada suaminya. Sehingga  akses dan kontrolnya terbatasi dengan alasan hutang yang belum terbayar tersebut. Dengan kondisi yang demikian itu, sang suami seolah-olah bisa melakukan apasaja, dengan alasan belum terbayarnya hutang oleh si istri, termasuk melakukan tindakan kekerasan yang dalam hal ini adalah berupa pembakaran.
Lebih lanjut, Astuti (2011:94-95) juga mengungkapkan bahwa melebarnya pola-pola kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuknya, harus dijelaskan melalui konsep sosial; yakni bahwa struktur sosial yang memberikan hak-hak istimewa dan mengutamakan dominasi laki-laki akan direspons dengan pandangan-pandangan yang menganggap wajar sikap yang menomorsatukan kepentingan laki-laki dan mengesampingkan dan merendahkan perempuan, termasuk respons melakukan dan melestarikan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam hal ini laki-laki Nepal maupun India berhak menuntut sang istri yang belum membayarkan mahar sesuai dengan keinginan sang laki-laki. Dalam kasus ini, Sheikh, nama pria itu, menuntut mahar berupa kerbau dan sepeda motor kepada keluarga sang istri. Sang suami merasa memiliki hak-hak istimewa karena bisa menuntut mahar dari perempuan. Bagi masyarakat Nepal, Mahar yang diajukan oleh suami sering kali menyulitkan keluarga sang istri.
Sistem hukum di Nepal, juga India sesungguhnya mendukung dan memperkuat perbedaan gender yang bisa berakibat pada ketidaksetaraan (inequality) gender. Mosse (dalam Alimi, 2013) mencontohkan pada Bagian III konstitusi India yang meletakkan hak-hak dasar tertentu. Setiap warga negara dijamin persamaannya di depan hukum, diskriminasi dilarang. Tetapi konstitusi memuat sengat di ekornya berkaitan dengan perempuan. Ini menjadi kebebasan beragama menurut pasal 25 yang berbunyi tunduk kepada tatanan umum, moralitas, dan kesehatan...semua orang sama-sama memiliki hak kebebasan hati nurani dan hak menyatakan, melaksanakan dan mendakwahkan agama secara bebas. Bagian konstitusi ini mengandung makna bahwa perempuan Hindu, Islam, Parsi, Kristen, Yahudi, dan Perempuan suku tunduk kepada hukum personal masing-masing komunitasnya. Hukum personal merupakan kawasan yang amat mempengaruhi perempuan di Nepal juga India, yang menyentuh masalah-masalah seperti hak atas kekayaan, pemeliharaan, perceraian, pengangkatan anak, perwalian anak, dan poligami.
Dalam hal ini, sebenarnya pemerintah kedua negara, baik pemerintah Nepal maupun pemerintah India, sudah melarang praktik pemberian mahar yang sering kali menyulitkan keluarga pihak wanita, tetapi tradisi ini masih terus dipraktikkan. Karena konstitusi di kedua negara memang memberikan kebebasan untuk melaksanakan hukum personal baik dalam agama, adat, tradisi maupun hukum-hukum ‘istimewa’ lainnya secara bebas. Sehingga ketika sang suami menuntut mahar dari sang istri, pemerintah tidak bisa berbuat banyak dan juga secara otomatis pihak perempuan juga akan merasa berhutang sehingga menimbulkan kondisi yang tergantung dan terkendali pada suaminya sampai hutang dilunasi. Hal itu terus terjadi karena aturan itu tercantum dalam hukum personal bagian pernikahan, yang mengatur mengenai tradisi pemberian mahar oleh keluarga si perempuan kepada keluarga si laki-laki sesuai permintaannya agar bisa melangsungkan pernikahan.
Refleksi
Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Dalam kasus pelecehan seksual, yang sering terjadi, pelakunya tidak dapat dijerat karena tidak mencukupi unsur kasus pencabulan atau perkosaan. Dalam kasus pencabulan, perkosaan, atau pelecehan seksual lainnya biasanya menghendaki adanya saksi hidup dalam peristiwa pelecehan tersebut untuk dapat diproses secara hukum. Dalam hal ini, saya beranggapan bahwa pembuat kebijakan tidak memperhatikan unsur kesesuaian logika berpikir riil dan juga unsur psikologis si korban. Untuk dapat melaporkan saja, si korban membutuhkan keberanian yang luar biasa, apalagi untuk memperjuangkan dalam menghadirkan saksi yang belum tentu ada karena sangat dimungkinkan pelaku akan bertindak karena memang ada peluang untuk melakukan pelecehan dengan si korban langsung, tanpa ada orang lain. Hal ini perlu diatur lebih bijak agar hak atas keamanan dan ketentraman baik laki-laki maupun perempuan bisa terjamin oleh negara.
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam pada korban. Korban pelecehan seksual dan perkosaan dapat mengalami stres akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya. Pelecehan seksual terhadap perempuan termasuk sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Oleh sebab itu, peran kita adalah ikut memikirkan bagaimana meringankan beban yang ditanggung oleh korban pelecehan seksual, dan ikut memikirkan bagaimana cara menekan jumlah kejadian pelecehan seksual di masyarakat.
Penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan kerja bersama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak, baik aktivis HAM perempuan, pemerintah, maupun masyarakat secara umum.
Pemerintah sebaiknya tegas dalam hal hukum personal yang mengatur beberapa persoalan yang penting terkait keberadaan laki-laki dan perempuan yang riskan menimbulkan kesenjangan. Pemerintah Nepal, juga India sebaiknya membatasi dakwah atau penerapan hukum personal yang dianut oleh warganya agar dilaksanakan secara bijaksana. Selama ini, pemerintah masih membebaskan warganya untuk melaksanakan hukum personal baik dalam agama, adat, maupun tradisi sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini tentu saja akan dimanfaatkan oleh oknum yang mengambil kesempatan atau keuntungan pribadi maupun kelompoknya untuk memuluskan kepentingannya. Apabila hal ini terus terjadi, pemerintah sebaiknya menggunakan kekuatannya untuk menggunakan hukum negara sebagai satu-satunya hukum yang sah bagi warga negaranya.
Masyarakat sebaiknya mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan yang lebih baik bagi para korban yang sudah mampu melampaui pengalaman kekerasan.  Mengajak semua orang untuk turut terlibat aktif sesuai dengan kapasitasnya dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Sebagai pelajaran, pelaku kekerasan baik terhadap perempuan maupun terhadap laki-laki sebaiknya dihukum sesuai dengan perbuatan yang dilakukan dengan memperhatikan berbagai aspek yang menimpa si korban. Karena kekerasan terhadap laki-laki atupun perempuan tidak hanya terkait dengan isu gender namun juga merupakan isu pelanggaran Hak Asasi Manusia. Artinya, hukuman harus dijatuhkan dengan tegas kepada para pelanggar HAM agar tidak terus berlanjut karena lemahnya sanksi yang diberikan.
Daftar Pustaka
Alimi, M. Yasir. 2013. Kompilasi Bacaan Sosiologi Gender (Buku Ajar). Semarang:_____
Astuti, T. M. P. 2011. Konstruksi Gender dalam Realitas Sosial. Semarang: Unnes Press.
Hardoko, Ervan. 2014. Mahar Belum Dibayar Pria Nepal Bakar Istrinya yang Tengah Hamil. http://internasional.kompas.com/read/2014/05/06/1647446/Mahar.Belum.Dibayar.Pria.Nepal.Bakar.Istrinya.yang.Tengah.Hamil. (Kamis, 08 Mei 2014 jam 02:00 WIB)
Huzaemah. 2014. Pelecehan Seksual dan Protes Perempuan. http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/12/17/246515. (Kamis, 08 Mei 2014 Pukul 01:53 WIB).

* = Mahasiswa semester 6 yang sedang menempuh mata kuliah Antropologi Gender

Wednesday 17 September 2014

Tracking, Bagai 2 Sisi Mata Uang

Pendidikan khususnya pendidikan formal memegang peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang menjadi modal utama dalam pembangunan suatu bangsa. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut terdapat berbagai program yang dilakukan oleh sekolah. Salah satunya adalah dengan tracking. Tracking adalah praktek yang memberikan murid pada kelompok kurikulum khusus dan dasar pengelompokanya adalah pada kriteria-kriteria tertentu seperti skor tes, kemampuan bahasa, dan kriteria lain yang dimiliki oleh siswa.
Seperti kita ketahui, tak ada satu pun program yang sempurna. Dan praktek tracking ini tentu juga ada dampak negatif dan dampak positifnya. Sejauh mana tracking berjalan di sekolah akan dibahas dalam tulisan ini guna penyempurnaan progam dan demi terwujudnya tujuan pendidikan yang baik.
Tracking adalah suatu sistem pendidikan dimana siswa diinstruksionalkan secara berbeda menurut kelompok sesuai dengan kinerja akademik masa lalu, kinerja pada standar tes, atau bahkan kinerja yang diantisipasi. Tracking juga dikenal sebagai:
·         Kelompok instruksoional terpisah dalam kelas tunggal,
·         Program yang dipersiapkan untuk memasuki perguruan tinggi
·         Penempatan kelas yang lebih canggih, terhormat atau kelas remidial.
Para penganut teori konflik percaya bahwa tracking berdampak buruk pada perkembangan akademis siswa kedepannya. Mereka berpendapat dengan adanya tracking anak-anak akan terkotak-kotakan ke dalam kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kemampuan mereka, di mana anak yang pandai akan berkelompok dengan anak pandai dan anak yang kurang pandai berkelompok dengan anak yang mempunyai kemampuan sama.
Tracking merupakan suatu bentuk pengelompokan siswa atau pelajar ke dalam kelas-kelas atau kelompok-kelompok berdasarkan perolehan nilai akademis, kelas yang di ikuti sebelumnya dan kriteria-kriteria yang lain yang disusun secara khusus (dalam buku :Sociology in Our time). Dari pengertian tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa tracking merupakan suatu bentuk pengelompokan siswa pada kelompok-kelompok kurikulum khusus dan teknik pembelajaran yang berbeda berdasarkan pada hasil perolehan nilai mereka, kelas atau kelompok sebelumnya, dan kriteria lain yang telah ditentukan. Di sekolah-sekolah saat Tracking lebih menunjuk pada pengelompokan secara kemampuan dan didasarkan pada asumsi bahwa pengelompokan secara kemampuan memudahkan untuk mengajar siswa-siswa yang memiliki kemampuan sama. Tracking mengelompokan siswa ke dalam kelompok “high,”,”middle”atau”low” dan pengelompokan ini sering menggunakan istilah-istilah yang lebih halus seperti “Blue Birds,”,”Red Birds,” dan “Yellow Birds,”.  Ruben Navarrette, Jr. (1997: 274-275), menyatakan bahwa Tracking mengakibatkan perbedaan percepatan kelompok, karena dengan metode ini satu kelompok lebih cepat dan kelompok lain cenderung tertinggal.
Dalam buku Seeing Sociology dijelaskan bahwa alasan yang mendukung praktek tracking adalah
1.      Siswa belajar lebih baik ketika mereka dikelompokan dengan mereka yang belajar pada tingkat yang sama.
2.      Peserta didik yang lamban dalam menerima pelajaran memerlukan perhatian khusus untuk memperbaiki akademik mereka yang kurang.
3.      Pelajar yang lambat mengembangkan sikap-sikapnya akan lebih positif ketika mereka tidak harus bersaing dengan mereka yang akademiknya lebih mampu.
4.      Kelompok siswa dengan ke mampuan serupa mudah menerima pelajaran daripada kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda.
Dalam sebuah penelitian now-classic, sosiolog jeannie Oakes (1985 menyelidiki bagaimana tracking mempengaruhi pengalaman akademik 13719 sekolah menengah dan murid sekolah tinggi di 297 kelas serta 25 sekolah diseluruh Amerika Serikat. “Masing-masing sekolah itu sendiri berbeda : ada yang besar, beberapa diantaranya sangat kecil, beberapa di tengah kota, dan beberapa lagi  terletak di negara pertanian yang hampir tak berpenghuni. Namun perbedaan yang dialami oleh siswa setiap hari di sekolah sebagian besar tidak berasal dari permasalahan darimana mereka tinggal dan seberapa mereka mengikuti sekolah melainkan dari perbedaan dalam masing-masing sekolah” (Oakes 1985, hal 2).
Oakes berpendapat bahwa meskipun banyak pendidik mengenali masalah yang terkait dengan Tracking, namun upaya untuk membatalkan Tracking telah bertabrakan dengan tuntutan kekuatan politik orang tua yang anaknya punya kemampuan lebih atau siswa berbakat, orangtua akan bersikeras bahwa anak mereka harus mendapatkan sesuatu yang lebih dari siswa lain, dan akibatnya tracking pun berlanjut (Wells dan Oakes 1996).
Tracking merupakan salah satu kebijakan sekolah dalam mencapai visi misi sekolah didunia pendidikan. Tujuannya yaitu untuk menyetarakan kemampuan sisiwa sehingga nantiya diharapkan memperlancar siswa maupun guru dalam proses belajar mengajar. Salah satu alasan mengapa sekolah melaksanakan praktek traking adalah karena tuntutan dari Orang tua yang menginginkan anaknya mendapatkan sesuatu yang lebih dari siswa lain. Bahkan ada juga beberapa orang tua yang berkuasa mendorong sekolah untuk menambah beberapa kelas favorit, atau bahkan tak jarang meminta guru untuk memasukan anaknya kedalam kelas yang terbaik.
Yang terjadi di kelas pada saat mengajar adalah guru cenderung malas mengajar di kelas yang non unggulan, karena siswa dikelas non unggulan lebih banyak berdiam diri atau pasif. Sebaliknya yang terjadi di kelas unggulan, guru lebih bersifat sebagai mediator bagi siswa karena siswa aktif dan mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi.
            Secara umum tujuan dari kebijakan tracking yang dilakukan oleh sekolah adalah untuk mengefektifkan proses belajar mengajar di kelas. Dengan adanya tracking guru menjadi tahu bagaimana kemampuan siswa dalam menangkap pelajaran yang di sampaikan. Sebagai contoh untuk kelas bilingual, guru akan tahu bagaimana cara menyampaikan materi pelajaran misalnya dengan Bilingual karena siswa yang ada dalam kelas tersebut memiliki kemampuan yang lebih dalam penguasaan bahasa dibandingkan dengan sisiwa lain diluar kelas bilingual.
            Tracking membantu mempercepat pemahaman terhadap kelas unggulan karena mereka dituntut untuk menjadi orang yang pintar, dan itu akan memotivasi mereka untuk lebih giat belajar. Tracking juga membantu siswa yang kurang cepat dalam memahami materi pembelajaran yang diajarkan oleh guru karena mereka diperlakukan sebagai seorang siswa yang lamban pula oleh gurunya sehingga mereka ditangani berbeda pula oleh pengajar.
            Selain itu tracking juga bertujuan sebagai tolak ukur kemampuan rata-rata siswa, kelas, atau sekolah karena digolongkan kedalam kelas-kelas tertentu jadi akan mudah dilihat kemampuan siswa, kelas atau sekolah yang unggul dalam bidang tertentu. Misalnya saat penerimaan siswa baru, calon siswa akan melihat sekolah mana yang favorit. Karena biasanya tracking terdapat pada sekolah-sekolah favorit misalnya Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) atau Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan sekolah lainnya.
            Jadi tracking bertujuan untuk membantu siswa yang pandai agar menjadi lebih pandai dan menjadikan siswa yang kurang pandai untuk digembleng agar menjadi pandai.
            Dalam pelaksanaanya dilapangan tracking tidak serta merta berjalan dengan lancar sesuai tujuan, tetapi ada beberapa akibat atau dampak yang ditimbulkan diantaranya adalah :
            Dampak positif :
·         Meningkatkan persaingan yang sehat diantara siswa karena ingin mendapatkan kelas terbaik atau favorit.
·         Untuk mencetak siswa yang unggul yang dijadikan contoh bagi siswa, kelas ataupun sekolah lain.
·         Meningkatkan rasa percaya diri siswa yang berada dikelas ‘khusus’ dibandingkan siswa diluar kelas tersebut.
·         Meningkatkan rasa percaya diri diantara siswa diluar kelas ‘ khusus’ karena kemampuannya merata.
·         Meningkatkan rasa kerja sama diantara siswa diluar kelas ‘khusus’ karena mereka merasa kurang.
·         Bisa meningkatkan semangat belajar baik dari kelas ‘khusus’ ataupun kelas biasa.
·         Mengurangi ketergantungan terhadap siswa lain dikelas karena kemampuan siswa cenderung merata.
·         Siswa yang pandai akan menjadi bertambah pandai.
Dampak negatif :
·         Secara tidak langsung tracking menimbulkan rasa sombong diantara siswa yang berada dalam kelas khusus karena merasa lebih dari yang lain.
·         Meningkatkan jiwa egoistik untuk siswa yang berada dalam kelas khusus karena rasa percaya diri mereka yang berlebih.
·         Menimbulkan kecemburuan atau perasaan iri bagi siswa diluar kelas ‘khusus’.
·         Menimbulkan sifat meremehkan bagi kelas ‘khusus’ karena menganggap kelas lain tidak lebih hebat dari kelasnya.
·         Menimbulkan gap atau jarak antar kelas sehingga merenggangkan hubungan antar kelas.
·         Menurunkan semangat belajar bagi siswa yang ambisius ingin masuk dalam kelas khusus namun gagal.
·         Siswa yang bodoh akan bertambah bodoh jika mereka menyesalkan nasib mereka yang masuk dalam kelas non unggulan.
            Dengan adanya tracking siswa yang pandai merasa istimewa sehingga berakibat pada perubahan sikap pada siswa yang pandai dari positiv ke negativ. Banyak dari siswa yang pandai menjadi sombong, egois, dan meremehkan siswa yang berada diluar kelas mereka. Sama halnya dengan siswa dari kelas ‘khusus’  siswa dari kelas yang kurang pandai pun mengalami perubahan sikap. Mereka cenderung pesimis, semangat belajar mereka turun, dan tak sedikit dari mereka yang iri terhadap siswa dari kelas khusus.
            Oleh karena itu, guru perlu melakukan tindakan pengendalian terhadap hal tersebut agar tidak berpengaruh negativ terhadap prestasi siswa baik dari kelas khusus maupun diluarnya.
            Salah satu tindakan yang dilakukan oleh guru di SMA N 1 Pemalang adalah dengan pendidikan karakter. Siswa dari kelas khusus ditekankan pada materi-materi tentang akhlak, mereka ‘disadarkan’ bahwa perubahan sikap yang mereka tunjukan adalah hal yang salah. Sebaliknya, siswa diluar kelas khusus diberikan motivasi-motivasi agar mereka optimis dan mampu menunjukan bahwa mereka juga mampu berprestasi.
            Praktek tracking yang terjadi di sekolah merupakan kebijakan dari sekolah untuk meningkatkan prestasi siswanya, namun dalam prakteknya tracking selain berpengaruh baik terhadap prestasi siswa juga mempengaruhi perubahan sikap siswa baik dari kelas unggulan maupun dari non unggulan. Mereka cenderung berubah kearah negativ meskipun tidak dipungkiri juga membawa dampak positiv. Namun diantara dampak positiv dan negativ yang terjadi dalam sekolah, tracking merupakan sesuatu yang sangat kejam bagi siswa yang kurang mampu. Karena praktek Tracking ini membuat jarak diantara kedua kelas yang membuat hubungan diantara keduanya seperti saling bermusuhan. Dan tracking telah menempatkan siswa yang kurang mampu sebagai musuh yang lemah dan yang sudah pasti kalah dari kelas unggulan. Padahal hal itu belum tentu terjadi. Bahkan siswa yang bodoh sekalipun, dia pasti potensi yang bisa dikembangkan.
Pengelompokan ini membuat siswa dari kelas unggulan di tempatkan pada status yang lebih tinggi dibanding siswa diluar kelas tersebut. Hal ini menimbulkan kesenjangan, baik dari siswa-siswi ataupun guru secara tidak sadar menganggap siswa dari kelas unggulan diatas kelas biasa. Dan stigma itu mempengaruhi kepribadian siswa kedua kelas tersebut. Siswa dari kelas unggulan merasa nyaman dengan posisi yang ditempatinya, namun sebaliknya siswa dari kelas di luar kelas unggulan harus menanggung beban atau penilaian orang yang buruk tentang mereka.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tracking membawa dampak buruk bagi kepribadian siswa disamping dampak positivnya. Maka hal yang mungkin dilakukan adalah hanya dengan memperkecil dampak tersebut, karena sekolah juga tidak mudah untuk membatalkan atau membubarkan pengelompokan tersebut. Hal itu disebabkan karena kekuatan kepentingan pribadi yang mendorong agar tetap dilaksanakan.
            Maka salah satu cara untuk memperkecil pengaruh negatif tersebut adalah guru harus bersikap adil dalam memperlakukan siswanya. Pengertian adil dalam hal ini tidak harus sama, tetapi dengan tidak ada perlakuan ‘istimewa’ dari sang guru terhadap kelas tertentu. Guru harus memenuhi hak dan kewajiban seorang siswa secara adil.
Yang selanjutnya adalah dengan pendidikan karakter. Siswa dari kelas khusus ditekankan pada materi-materi tentang akhlak, mereka ‘disadarkan’ bahwa perubahan sikap yang mereka tunjukan adalah hal yang salah. Sebaliknya, siswa diluar kelas khusus diberikan motivasi-motivasi agar mereka optimis dan mampu menunjukan bahwa mereka juga mampu berprestasi. Hal ini dilakukan karena guru selain sebagai seorang pengajar juga sebagai pembentuk karakter muridnya.
Lalu siswa-siswi dari kedua kelas yang berbeda tersebut juga harus bersikap bijak dalam menanggapi permasalahan yang ditimbulkan akibat pengelompokan itu sendiri. Mereka tidak boleh terlena dengan posisi apa yang mereka tempati tetapi tetap berusaha sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ferante, Joan. 2011. Seeing Sociology. USA: Chengage Learning & Sales Support.
Kendall, Dian. 2008. Sociology In Our Time. Amerika: Thomson Higher.

Tuesday 16 September 2014

Perilaku Mahasiswa Bidikmisi dalam Menggunakan Uang Negara


Mukh. Imron Ali Mahmudi
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk membahas bagaimana perubahan perilaku yang terjadi pada mahasiswa Jurusan Sosiologi dan Antropologi Unnes angkatan 2012 yang menerima beasiswa bidikmisi dalam hal perilaku ekonomi khususnya dalam mengkonsumsi barang. Mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi, mereka berasal dari golongan ekonomi menengah kebawah. Namun gaya hidupnya tidak sesuai dengan latarbelakang ekonominya. Mereka mengkonsumsi barang secara berlebihan. Barang-barang yang mereka konsumsi bukanlah barang yang benar-benar mereka butuhkan. Kondisi lingkungan sekitar kampus yang menyediakan berbagai barang dan jasa yang lengkap memicu mereka untuk bergaya hidup konsuntif. Mereka mengkonsumsi barang secara berlebihan juga karena tuntutan pergaulan, agar dapat diterima dalam kelompok pergaulanya. Hal ini menimbulkan kecemburuan dari mahasiwa lain yang tidak menerima beasiswa. Mereka merasa mahasiswa bidikmisi tidaklah pantas bergaya hidup yang berlebihan, karena tidak mencerminkan posisi mereka sebagai mahasiswa yang kurang mampu, yang mendapat bantuan finansial dari pemerintah.
Kata kunci: konsumsi, perilaku konsumtif, mahasiswa bidikmisi

PENDAHULUAN
Mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi Jurusan Sosiologi Antropologi Unnes angkatan 2012 (selanjutnya disebut mahasiswa bidikmisi) adalah mahasiswa yang mengikuti program bantuan biaya pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian  Pendidikan  dan  Kebudayaan  mulai tahun  2010  karena mereka memiliki potensi akademik memadai dan kurang mampu secara ekonomi. Tujuan pemerintah menyelenggarakan Program bidikmisi adalah untuk menghidupkan harapan masyarakat kurang mampu dan mempotensi akademik memadai untuk dapat menempuh pendidikan sampai jenjang pendidikan tinggi.
Mahasiswa penerima beasiswa bidik misi adalah mahasiswa dari golongan ekonomi menengah kebawah yang difasilitasi oleh pemerintah dalam hal finansial pendidikan, sehingga mereka tidak membayar uang operasional pendidikannya di kampus. Mereka juga diberi uang saku sebagai biaya hidup sekitar Rp. 600.000/ bulan. Sebagian dari mereka masih menerima uang saku dari orangtuanya di rumah.
Mereka diharapkan mampu menjalankan amanah Pemerintah dengan sebaik-baiknya. Perilaku mereka akan selalu mendapat pengawasan oleh pihak Universitas yang “dititipi” oleh pemerintah untuk memonitor dan mengevaluasi mahasiswa Bidikmisi. Setiap tahunnya mahasiswa Bidikmisi harus mempertanggung jawabkan amanah yang diberikan dengan mengikuti aturan serta menunjukan prestasi yang bagus baik dalam bidang akademik maupun non-akademik.
Sebagai calon guru mereka diharapkan mampu menjadi contoh dalam masyarakat. Karena sudah selayaknya seorang guru berperilaku sederhana terlebih lagi dalam urusan gaya hidup. Mahasiswa Bidikmisi sebagai calon guru yang sebelumnya tidak pernah memegang uang sendiri, karena rata-rata mereka belum pernah bekerja. Kini harus mulai mengatur keuangannya sendiri dengan baik, minimal bisa memanfaatkan uang yang telah diterima dari pemerintah untuk mencukupi keperluannya dengan bijaksana, tidak berlebihan, dan sesuai kebutuhan.
Pengaruh teman sepermainan yang berperilaku konsumtif bisa menjadi pemicu mereka untuk mengikutinya. Kondisi sekitar kampus yang menyediakan secara lengkap keinginan dan kebutuhan masyarakat turut menjadi pendukung terjadinya konsumerisme dikalangan mahasiswa. Sehingga sebagai mahasiswa, khususnya penerima beasiswa Bidikmisi dalam hal ini harus pintar-pintar dalam memilih teman maupun lingkungan yang kondusif agar mereka tidak terjerumus kedalam lembah konsumerisme. Harapannya mereka bisa bergaya hidup sewajarnya sebagai seorang penerima beasiswa yang berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah kebawah yang juga sekaligus mereka adalah calon guru yang nantinya akan jadi panutan ditengah-tengah masyarakat.
Perilaku Konsumsi Mahasiswa Bidikmisi
Perilaku konsumsi mahasiswa Bidikmisi dalam membeli barang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kondisi ekonomi keluarga, lingkungan tempat tinggal (kost atau rumah), hubungan (pergaulan) mahasiswa dengan teman / masyarakat, perkembangan informasi, dan teknologi sangat berpengaruh terhadap gaya hidup mereka. Disamping itu tata kehidupan kampus juga mempengaruhi gaya hidup dan perilaku konsumtif yang dilakukan mahasiswa.
Kondisi ekonomi keluarga mahasiswa Bidikmisi hampir sama. Mereka berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Sehingga mereka mau tidak mau harus menyesuaikan kebutuhan dengan uang yang mereka punya. Namun maslahnya adalah, kini mahasiswa Bidikmisi bukan lagi mahasiswa yang kekurangan biaya sehingga makan saja susah. Tapi mahasiswa bidikmisi sudah menjadi bos-bos kecil karena setiap bulannya mereka menerima uang sejumlah Rp.600.000. Kalau dihitung-hitung kebutuhan mereka dijatah 20 ribu sehari. Jumlah yang lumayan untuk hidup di sekitar kampus Unnes Sekaran yang menyedia makanan dengan harga yang murah dibanding di daerah lain. Belum lagi diantara mereka banyak juga yang masih menerima uang saku dari orang tua masing-masing yang rata-rata menerima antara 200-300 ribu sebulan. Hal ini sangat membuka peluang mereka untuk bergaya hidup konsumtif.
Lingkungan tempat tinggal (kos atau asrama) mahasiswa juga berpengaruh kuat terhadap perilaku konsumtif mahasiswa. Mahasiswa sering makan di tempat makan yang mahal, yang penting dekat dengan tempat kos atau asramanya. Kebutuhan makan yang umumnya adalah 5-7 ribu tiap makan menjadi lebih besar dari itu karena mereka memilih tempat makan yang sesuai dengan keinginan mereka.
Lingkungan pergaulan adalah faktor paling berpengaruh bagi mahasiswa Bidikmisi untuk bergaya hidup konsumtif. Disinilah kebutuhan mereka terbentuk. Agar keberadaanya diakui oleh teman sepermainan atau teman sekelompoknya. Mereka biasanya mengikuti pola hidup mahasiswa lain dalam mengkonsumsi barang yang untuk ukuran mahasiswa tersebut adalah standar, namun untuk ukuran mahasiswa Bidikmisi masih terlalu tinggi. Secara langsung ataupun tidak, mahasiswa Bidikmisi membeli barang yang tidak begitu mereka butuhkan seperti membeli pulsa untuk mengakses internet yang bagi mahasiswa dari keluarga kaya adalah hal yang wajar. Namun untuk mahasiswa bidikmisi menjadi keinginan yang terselubung dalam kebutuhan semu mereka.
Kebutuhan umum mahasiswa pada dasarnya hampir sama baik mahasiswa Bidikmisi maupun mahasiswa umum. Kebutuhan sekunder diluar keperluan kuliahlah yang berbeda. Jika mahasiswa dari keluarga kaya selalu memperoleh fasilitas yang diperlukan dari orang tuanya. Maka mahasiswa Bidikmisi pun berusaha memperoleh apa yang diterima mahasiswa lain. Namun masalahnya adalah kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhannya  tidaklah sama. Dalam hal ini mahasiswa Bidikmisi kesulitan untuk mengimbangi apa yang dimiliki oleh mahasiswa lain. Namun, demi pengakuan eksistensi dan kepentingan gengsi, maka mereka pun mengikuti apa yang mahasiswa lain lakukan. Inilah perilaku konsumtif yang dilakukan mahasiswa bidikmisi. Mereka membeli barang yang tidak benar-benar dibutuhkan serta membeli dengan standar orang-orang kaya.
Barang-barang yang dibeli oleh mahasiswa Bidikmisi bukanlah barang-barang yang sepenuhnya mereka butuhkan. Namun karena banyak faktor, mereka pada akhirnya harus membeli barang-barang yang memuaskan keinginan, barang yang terbeli karena keperluan gengsi, barang yang terbeli karena tuntutan pergaulan dan sebagainya.
Kondisi yang demikian menimbulkan banyak kontra dari mahasiswa lain, terutama dari mahasiswa dengan ekonomi pas-pasan namun tidak memperoleh beasiswa. Mereka maupun orangtuanya bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan hidup maupun biaya operasional pendidikannya. Mereka bahkan lebih prihatin dalam mengkonsumsi sesuatu, karena sumber uang mereka hanya dari orang tuanya. Berbeda dengan mahasiswa Bidikmisi yang berlebih-lebihan dalam memanfaatkan uang yang mereka miliki tanpa memperhitungkan kondisi diluar keinginannya.
Penutup
Hasil analisis menunjukan bahwa perilaku konsumtif yang dilakukan mahasiswa Bidikmisi paling banyak disebabkan karena pergaulan mereka dengan mahasiswa lain yang notabene adalah mahasiswa dari keluarga yang mapan dalam hal finansial. Sehingga secara langsung maupun tidak langsung, mahasiswa Bidikmisi terpengaruh untuk ikut mengkonsumsi barang dan jasa yang dikonsumsi oleh mahasiswa lain yang kaya.
Barang yang dibeli oleh mahasiswa Bidikmisi tidak selama adalah barang-barang yang mereka butuhkan namun kebanyakan dari mereka yang membeli barang adalah sebagai pemenuhan hasrat atau keinginan semata. Uang yang mereka gunakan untuk membeli buku, membeli peralatan dan perlengkapan kuliah dan lain sebagainya bahkan tak lebih besar dari uang yang mereka gunakan untuk membeli pakaian, membeli pulsa, maupun untuk memenuhi keinginan mereka yang lain.
Dengan demikian mahasiswa Bidikmisi diharapkan mampu membentengi diri dengan lebih bijaksana dalam menggunakan uang yang merupakan amanah dari pemerintah maupun dari orang tua masing-masing dari mereka. Mahasiswa Bidikmisi juga diharapkan mampu menjaga diri dari pengaruh buruk teman-teman yang melakukan konsumsi yang tidak sesuai kebutuhan. Karena pengaruh lingkungan terhadap perilaku seseorang sangat besar, maka mahasiswa Bidikmisi maupun mahasiswa lain sebaiknya memilih lingkungan yang kondusif yang membawa mereka pada perilaku yang baik dan menjauhkan mereka dari perilaku yang konsumtif.
Daftar Pustaka
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Wulan Nindya Mantri. 2007. Perbedaan Gaya Hidup Konsumtif Mahasiswa UNNES dan UNIKA Dalam Kehidupan Kampus. Skripsi. Unnes
Nabila Viendy Noviar Putri .2011.Gaya Hidup Konsumtif Di Kalangan Mahasiswa Unnes Sebagai Upaya Peningkatan Prestise dalam Lingkungan Kampus. Skripsi. Unnes
http://bidikmisi.dikti.go.id/portal/?p=336

Saturday 13 September 2014

Waktu Adalah Kebaikan


Semua hanya tentang waktu. Banyak di antara kita ini tidak sadar betapa waktu sangat berharga, betapa kita tidak dengan baik menghargai waktu. Padahal kita tidak tahu berapa waktu yang kita miliki untuk hidup di dunia ini.

Banyak orang di luar sana memandang waktu begitu penting dalam hidupnya. Bagi orang arab, waktu ibarat pedang. Jika kau tidak bisa memanfaatkan waktu dengan baik, maka waktu itu bagai pedang akan membunuhmu secara perlahan. Bagi orang barat, waktu adalah uang. Jika engkau tidak bisa mengelolanya, engkau akan rugi, engkau tak akan mendapatkan apa-apa. Masyarakat modern juga ditandai dengan bagaimana mereka mengukur waktu. Jika masyarakat tradisional memandang waktu dengan membaginya ke dalam beberapa jangka yang lama seperti, musim panas, musim hujan, dsb. Maka masyarakat modern sangat tegas dalam mengelola waktu. Saat mereka melakukan pertemuan, mereka akan memperhatikan jam berapa, menit berapa, bahkan mungkin nanti sampai pada detik ke berapa. Lalu sejauh mana kita menghargai waktu?



Maknai waktu
Kita ini begitu lucu sebenarnya. Kenapa demikian? Sering kali kita menanti-nantikan suatu acara atau kegiatan. Namun ketika waktu itu datang, kita tidak dengan baik melaksanakan kegiatan itu. Malahan kita menunggu-nunggu kapan selesainya kegiatan itu. Anehnya lagi, saat waktu itu telah lewat, suatu ketika kita merindukan masa-masa itu, atau ada yang ingin kembali ke waktu itu. Awalnya ditunggu, disiakan, lalu dirindukan. Jarang sekali kita memaknai apa yang kita lakukan, memaknai setiap langkah-langkah kita. Sekarang ini, seberapa baik anda memaknai kegiatan anda?

Kalo tidak sekarang kapan lagi
Kita punya 24 jam dalam sehari. Berapa jam kita gunakan waktu untuk istirahat? Berapa jam kita manfaatkan untuk bermain, bercerita dengan teman-teman, menonton TV, memegang HP, belanja, makan, minum, mandi, meluangkan waktu dengan sia-sia, jalan-jalan, dsb, berapa waktu yang kita gunakan? Dibandingkan 2 atau 3 sks kuliah, dibandingkan 5 (kali 5) menit beribadah, beberapa jam sekolah. Masih kita tidak serius kuliah? Masih saja kita tidak khusyuk beribadah? Masih saja kita malas sekolah? Kalau tidak sekarang engkau serius dengan kuliahmu, engkau tidak serius dengan Tuhanmu, engkau tidak serius dengan gurumu, kapan lagi engkau janji akan serius? Yakin saat itu datang engkau akan memaknainya? Yakin waktumu masih lama? Karena kita memang tak pernah tahu kapan waktu kita, bahkan untuk 1 detik ke depan.
Kau juga akan rindu masa lalu
Manfaatkanlah waktumu dengan sebaik-baiknya. Jika engkau pernah merindukan masa lalu, merindukan masa-masa kecilmu. Maka yakinlah, saat-saat yang sedang engkau jalani ini akan engkau rindukan nanti. Yakinlah, saat-saat ini engkau sekolah akan engkau rindukan, nanti ketika kau kuliah. Yakinlah, saat-saat ini kau kuliah akan engkau rindukan, nanti setelah kau wisuda ataupun bekerja. Jika kau yakin hari-hari yang kau lalui akan engkau rindukan suatu hari nanti, maka jalanilah setiap langkah dengan memaknainya, nikmati setiap proses yang kau jalani.

*sebagian disadur dari dialog dengan Syaikh Moh. Yasir Alimi Ph.D dan Syaikh Abdul Aziz (Dosen Psikologi)

Wednesday 10 September 2014

Fakta Sosial: Emile Durkheim

Kata fakta sosial pertama kali diperkenalkan pada abad ke-19 oleh sosiolog Perancis yang bernama Emile Durkheim.  Durkheim menyatakan bahwa sosiologi harus menjadi 'ilmu dari fakta sosial' yaitu membicarakan sesuatu yang umum yang mencakup keseluruhan masyarakat dan berdiri sendiri serta terpisah dari manivestasi  individu. Fakta sosial ini diartikan sebagai gejala sosial yang abstrak, misalnya hukum, struktur sosial, adat kebiasan,nilai, norma, bahasa, agama, dan tatanan kehidupan lainnya yang memiliki kekuasaan tertentu untuk memaksa bahwa kekuasaan itu terwujud dalam kehidupan masyarakat di luar kemampuan individu sehingga individu menjadi tidak tampak.  Selain itu, menurut Emile Durkheim metode sosiologis yang dipraktikkan harus bersandar sepenuhnya pada prinsip dasar bahwa fakta sosial harus dipelajari sebagai materi, yakni sebagai realitas eksternal dari seorang individu. Jika tidak ada realitas di luar kesadaran seorang individu, sosiologi sepenuhnya kekurangan materi. 
Dalam buku Rules of Sociological Method, Durkheim menulis: "Fakta sosial adalah setiap cara bertindak, baik tetap maupun tidak, yang bisa menjadi pengaruh atau hambatan eksternal bagi seorang individu." Dan dapat diartikan bahwa fakta sosial adalah cara bertindak, berfikir, dan merasa yang ada diluar individu dan sifatnya memaksa serta terbentuk karena adanya pola di dalam masyarakat. Artinya, sejak manusia dilahirkan secara tidak langsung ia  diharuskan untuk bertindak sesuai dengan lingkungan sosial dimana ia dididik dan sangat sukar baginya untuk melepaskan diri dari aturan tersebut. Sehingga ketika seseorang berbuat lain dari apa yang diharapkan oleh masyarakat maka ia akan mendapatkan tindakan koreksi, ejekan, celaan, bahkan mendapat sebuah hukuman. Selain itu, fakta sosial memiliki 3 sifat yaitu: eksternal, umum (general), dan memaksa (coercion).
1. Eksternal
Eksternal artinya fakta tersebut berada diluar pertimbangan-pertimbangan seseorang dan telah ada begitu saja jauh sebelum manusia ada didunia.
2. Koersif (Memaksa)
Fakta ini memeliki kekuatan untuk menekan dan memaksa individu menerima dan melaksanakannya. Dalam fakta sosial sangat nyata sekali bahwa individu itu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong dengan cara tertentu yan dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya.  Artinya, fakta sosial mempunyai kekuatan untuk memaksa individu untuk melepaskan kemauannya sendiri sehingga eksistensi kemauannya terlingkupi oleh semua fakta social.
3. Menyebar/umum (General)
Fakta sosial itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, fakta sosial ini merupakan milik bersama, bukan sifat individu perseorangan.
Dari karakteristik di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa fakta sosial mengarahkan pada sesuatu yang ada diluar individu yang mengharuskannya untuk mengikuti adat istiadat, sopan santun, dan tata cara penghormatan yang lazim dilakukan sebagai anggota masyarakat dan melakukan hubungan antar individu dengan individu lain dalam suatu masyarakat. Dengan perkataan lain, fakta sosial seperti tindakan individu dalam melakukan hubungan dengan anggota masyarakat lain yang berpedoman dengan norma-norma dan adat istiadat seseorang sehingga ia melakukan hubungan-hubungan terpola dengan anggota masyarakat lain.
Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam:
1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata ( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme, altruisme, dan opini.
Penjelasan mengenai fakta sosial dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu:
1. Penjelasan sebab-akibat
Fakta sosial harus dijelaskan berdasarkan fakta-fakta sosial yang mendahuluinya sehingga dapat mengetahui sebab dari terbentuknya fakta sosial tersebut. Setelah sebab tersebut ditemukan, selanjutnya mencari  penyebab fakta sosial tersebut masih ada. Kenyataan bahwa fakta sosial itu masih ada selanjutnya dapat dijelaskan berdasarkan fungsi yang dimilikinya.
2. Penjelasan fungsional
Fungsi suatu fakta sosial harus selalu ditemukan dalam hubungannya dengan suatu tujuan sosial lainnya. Ini berari bahwa harus diteliti apakah ada persamaan antara fakta yang ditinjau dengan keperluan-keperluan umum dari organisme sosial itu dan dimana letak persesuaiannya.
Perbedaan fakta sosial dengan fakta individu
1. Fakta sosial
Fakta sosial adalah  perbuatan-perbuatan yang ada diluar individu secara terpisah, umum, dan memaksa karena fakta itu tidak dapat terlepas dari individu-individu secara bersama-sama serta memaksakan individu berbuat sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Jadi fakta sosial tidak menyatu dengan individu-individu secara utuh tetapi juga tidak bisa lepas dari individu-individu tersebut. Inti dari fakta sosial ini yaitu adanya tindakan yang dilakukan disebabkkan karena adanya pola dalam hubungan sosial itu sendiri.
2. Fakta individu
Sedangkan fakta individu , sering disebut sebagai fakta organis atau fakta psikis. Fakta organis ini merupakan tindakan yang dilakukan dengan didasari kesadaran individu itu sendiri. sehingga tidak ada bentuk intervensi dari luar yang memaksa seseorang untuk melakukan tindakan tersebut karena tidak memerlukan sebuah pola dalam sistem sosial.
Menurut Emile Durkheim, fakta sosial tidak dapat direduksi menjadi fakta individu, karena ia memiliki eksistensi yang independen ditengah-tengah masyarakat. Fakta sosial sesungguhnya suatu kumpulan dari fakta-fakta individu akan tetapi kemudian diungkapkan dalam suatu realitas yang riil. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa fakta sosial dihasilkan oleh pengaruh dari fakta psikis (sui generis).
DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George. 2009. Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Johnson, Paul Doyle. 1986. Teory Sosiologi Klasik dan Moderen. Jakarta: PT Gramedia.
Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Dadang, khamad. 2002. Soiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Betty R.Scarf. 2004. Sosiologi Agama,  terj. Machun Husein. Jakarta: Prenada Media.