Thursday, 18 September 2014

Bicara Gender: Power and Powerless

Oleh:
Mukh. Imron Ali Mahmudi*
Lebih dari Kasus
Seorang Pria berkebangsaan Nepal, bernama Farid Sheikh bersama orangtuanya menyiramkan bensin ke tubuh sang istri yang baru berusia 25 tahun dan tengah hamil tujuh bulan. Saat kejadian itu, mereka membawa wanita itu ke India untuk pengobatan. Saat itu mereka mengatakan bahwa wanita itu mengalami kecelakaan. Kondisi wanita itu memburuk dan akhirnya keguguran. Sebuah kelompok pembela HAM Nepal mengatakan membawa wanita itu ke sebuah rumah sakit di ibu kota Kathmandu dalam kondisi kritis. Seluruh tubuh bagian bawah wanita itu penuh luka yang ditutup kain perban.
Kejadian ini terjadi pada bulan April. Namun baru dilaporkan ke kepolisian di distrik Banke, Nepal Barat oleh Ayah korban pada Selasa, 5 Mei 2014 setelah mengetahui kondisi kandungan putrinya mengalami keguguran akibat perlakuan buruk sang suami. Saat ini, Sheikh dan keluarganya masih menjadi buronan polisi karena dikabarkan menghilang.
Aksi brutal ini dilakukan sebagai upaya Sheikh menuntut mahar berupa sebuah sepeda motor dan seekor kerbau dari keluarga sang istri. Sang istri mengungkapkan bahwa si suami kerap menyiksanya dan mengatakan dia tak memberi mahar. Sang suami bahkan menyundut kemaluan istrinya menggunakan bara rokok. Di Nepal dan India, sesuai tradisi, keluarga mempelai wanita memberikan mahar yang diminta keluarga mempelai pria agar pernikahan bisa dilangsungkan. Meski pemerintah kedua negara itu melarang praktik pemberian mahar yang sering kali menyulitkan keluarga pihak wanita, tetapi tradisi ini masih terus dipraktikkan.
Dosa Ganda
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Astuti, 2011). Sementara itu, Huzaemah (2014) menjelaskan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual merupakan suatu bentuk penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal -hal yang berkenaan dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual antara laki -laki dan perempuan.
Dalam kasus ini, Sheikh secara umum dikategorikan melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang dalam hal ini adalah dengan melakukan penyiraman bensin dan juga melakukan pembakaran. Selain itu, secara khusus dia juga melakukan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap istrinya dengan menyundut alat kelamin istrinya dengan bara rokok. Bahkan lebih lanjut dia juga melakukan tindakan penipuan dengan mengatakan bahwa istrinya mengalami kecelakaan saat ditanya oleh petugas kepolisian mengenai keberadaan istrinya yang dibawa ke India untuk pengobatan.
Lebih lanjut, kekerasan yang dialami sang istri tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisik dan seksual saja. Kekerasan yang dilakukan Sheikh sekaligus adalah termasuk kekerasan psikis. Kekerasan psikis sendiri menurut UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) (dalam Astuti, 2011: 97) adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Dalam kasus ini, sang istri tentu saja mengalami ketakutan yang mendalam serta tidak mampu berbuat apa-apa karena disiram bensin oleh suaminya bahkan juga dibantu oleh orang tua si suami. Tentu saja si korban tidak mampu melawannya. Selain karena kalah dalam hal jumlah, kondisi pada waktu itu adalah sedang mengandung bayi yang berumur tujuh bulan. Tekanan psikis tidak hanya dialami si perempuan pada saat kejadian, kekerasan yang dialaminya tentu saja akan menimbulkan rasa trauma dan juga malu pada kehidupan di kemudian hari yang akan dijalani si perempuan.
Astuti (2011:94) menjelaskan bahwa kekerasan perempuan merupakan produk sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan menomorsatukan kepentingan dan perspektif laki-laki, sekaligus menganggap perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah daripada laki-laki.
Pandangan tersebut mengandung konsekuensi bahwa laki-laki Nepal maupun India bisa saja memeras perempuan karena kebutuhannya berupa mahar pernikahan tidak dapat dipenuhi oleh perempuan yang dinikahinya. Dalam hal ini, sebenarnya pernikahan sudah terjadi, bahkan si perempuan sudah dalam kondisi hamil tujuh bulan. Namun karena mahar belum dipenuhi, si suami merasa memiliki piutang pada istrinya. Artinya, selama sang istri belum membayar hutangnya, selama itu pula ia dibawah kendali laki-laki. Perempuan dikondisikan dalam keadaan tergantung dan merasa berhutang budi pada suaminya. Sehingga  akses dan kontrolnya terbatasi dengan alasan hutang yang belum terbayar tersebut. Dengan kondisi yang demikian itu, sang suami seolah-olah bisa melakukan apasaja, dengan alasan belum terbayarnya hutang oleh si istri, termasuk melakukan tindakan kekerasan yang dalam hal ini adalah berupa pembakaran.
Lebih lanjut, Astuti (2011:94-95) juga mengungkapkan bahwa melebarnya pola-pola kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuknya, harus dijelaskan melalui konsep sosial; yakni bahwa struktur sosial yang memberikan hak-hak istimewa dan mengutamakan dominasi laki-laki akan direspons dengan pandangan-pandangan yang menganggap wajar sikap yang menomorsatukan kepentingan laki-laki dan mengesampingkan dan merendahkan perempuan, termasuk respons melakukan dan melestarikan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam hal ini laki-laki Nepal maupun India berhak menuntut sang istri yang belum membayarkan mahar sesuai dengan keinginan sang laki-laki. Dalam kasus ini, Sheikh, nama pria itu, menuntut mahar berupa kerbau dan sepeda motor kepada keluarga sang istri. Sang suami merasa memiliki hak-hak istimewa karena bisa menuntut mahar dari perempuan. Bagi masyarakat Nepal, Mahar yang diajukan oleh suami sering kali menyulitkan keluarga sang istri.
Sistem hukum di Nepal, juga India sesungguhnya mendukung dan memperkuat perbedaan gender yang bisa berakibat pada ketidaksetaraan (inequality) gender. Mosse (dalam Alimi, 2013) mencontohkan pada Bagian III konstitusi India yang meletakkan hak-hak dasar tertentu. Setiap warga negara dijamin persamaannya di depan hukum, diskriminasi dilarang. Tetapi konstitusi memuat sengat di ekornya berkaitan dengan perempuan. Ini menjadi kebebasan beragama menurut pasal 25 yang berbunyi tunduk kepada tatanan umum, moralitas, dan kesehatan...semua orang sama-sama memiliki hak kebebasan hati nurani dan hak menyatakan, melaksanakan dan mendakwahkan agama secara bebas. Bagian konstitusi ini mengandung makna bahwa perempuan Hindu, Islam, Parsi, Kristen, Yahudi, dan Perempuan suku tunduk kepada hukum personal masing-masing komunitasnya. Hukum personal merupakan kawasan yang amat mempengaruhi perempuan di Nepal juga India, yang menyentuh masalah-masalah seperti hak atas kekayaan, pemeliharaan, perceraian, pengangkatan anak, perwalian anak, dan poligami.
Dalam hal ini, sebenarnya pemerintah kedua negara, baik pemerintah Nepal maupun pemerintah India, sudah melarang praktik pemberian mahar yang sering kali menyulitkan keluarga pihak wanita, tetapi tradisi ini masih terus dipraktikkan. Karena konstitusi di kedua negara memang memberikan kebebasan untuk melaksanakan hukum personal baik dalam agama, adat, tradisi maupun hukum-hukum ‘istimewa’ lainnya secara bebas. Sehingga ketika sang suami menuntut mahar dari sang istri, pemerintah tidak bisa berbuat banyak dan juga secara otomatis pihak perempuan juga akan merasa berhutang sehingga menimbulkan kondisi yang tergantung dan terkendali pada suaminya sampai hutang dilunasi. Hal itu terus terjadi karena aturan itu tercantum dalam hukum personal bagian pernikahan, yang mengatur mengenai tradisi pemberian mahar oleh keluarga si perempuan kepada keluarga si laki-laki sesuai permintaannya agar bisa melangsungkan pernikahan.
Refleksi
Kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Dalam kasus pelecehan seksual, yang sering terjadi, pelakunya tidak dapat dijerat karena tidak mencukupi unsur kasus pencabulan atau perkosaan. Dalam kasus pencabulan, perkosaan, atau pelecehan seksual lainnya biasanya menghendaki adanya saksi hidup dalam peristiwa pelecehan tersebut untuk dapat diproses secara hukum. Dalam hal ini, saya beranggapan bahwa pembuat kebijakan tidak memperhatikan unsur kesesuaian logika berpikir riil dan juga unsur psikologis si korban. Untuk dapat melaporkan saja, si korban membutuhkan keberanian yang luar biasa, apalagi untuk memperjuangkan dalam menghadirkan saksi yang belum tentu ada karena sangat dimungkinkan pelaku akan bertindak karena memang ada peluang untuk melakukan pelecehan dengan si korban langsung, tanpa ada orang lain. Hal ini perlu diatur lebih bijak agar hak atas keamanan dan ketentraman baik laki-laki maupun perempuan bisa terjamin oleh negara.
Pelecehan seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam pada korban. Korban pelecehan seksual dan perkosaan dapat mengalami stres akibat pengalaman traumatis yang telah dialaminya. Pelecehan seksual terhadap perempuan termasuk sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Oleh sebab itu, peran kita adalah ikut memikirkan bagaimana meringankan beban yang ditanggung oleh korban pelecehan seksual, dan ikut memikirkan bagaimana cara menekan jumlah kejadian pelecehan seksual di masyarakat.
Penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan kerja bersama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak, baik aktivis HAM perempuan, pemerintah, maupun masyarakat secara umum.
Pemerintah sebaiknya tegas dalam hal hukum personal yang mengatur beberapa persoalan yang penting terkait keberadaan laki-laki dan perempuan yang riskan menimbulkan kesenjangan. Pemerintah Nepal, juga India sebaiknya membatasi dakwah atau penerapan hukum personal yang dianut oleh warganya agar dilaksanakan secara bijaksana. Selama ini, pemerintah masih membebaskan warganya untuk melaksanakan hukum personal baik dalam agama, adat, maupun tradisi sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini tentu saja akan dimanfaatkan oleh oknum yang mengambil kesempatan atau keuntungan pribadi maupun kelompoknya untuk memuluskan kepentingannya. Apabila hal ini terus terjadi, pemerintah sebaiknya menggunakan kekuatannya untuk menggunakan hukum negara sebagai satu-satunya hukum yang sah bagi warga negaranya.
Masyarakat sebaiknya mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan yang lebih baik bagi para korban yang sudah mampu melampaui pengalaman kekerasan.  Mengajak semua orang untuk turut terlibat aktif sesuai dengan kapasitasnya dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Sebagai pelajaran, pelaku kekerasan baik terhadap perempuan maupun terhadap laki-laki sebaiknya dihukum sesuai dengan perbuatan yang dilakukan dengan memperhatikan berbagai aspek yang menimpa si korban. Karena kekerasan terhadap laki-laki atupun perempuan tidak hanya terkait dengan isu gender namun juga merupakan isu pelanggaran Hak Asasi Manusia. Artinya, hukuman harus dijatuhkan dengan tegas kepada para pelanggar HAM agar tidak terus berlanjut karena lemahnya sanksi yang diberikan.
Daftar Pustaka
Alimi, M. Yasir. 2013. Kompilasi Bacaan Sosiologi Gender (Buku Ajar). Semarang:_____
Astuti, T. M. P. 2011. Konstruksi Gender dalam Realitas Sosial. Semarang: Unnes Press.
Hardoko, Ervan. 2014. Mahar Belum Dibayar Pria Nepal Bakar Istrinya yang Tengah Hamil. http://internasional.kompas.com/read/2014/05/06/1647446/Mahar.Belum.Dibayar.Pria.Nepal.Bakar.Istrinya.yang.Tengah.Hamil. (Kamis, 08 Mei 2014 jam 02:00 WIB)
Huzaemah. 2014. Pelecehan Seksual dan Protes Perempuan. http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/12/17/246515. (Kamis, 08 Mei 2014 Pukul 01:53 WIB).

* = Mahasiswa semester 6 yang sedang menempuh mata kuliah Antropologi Gender

0 comments:

Post a Comment