Oleh:
Mukh.
Imron Ali Mahmudi*
Lebih
dari Kasus
Seorang
Pria berkebangsaan Nepal, bernama Farid Sheikh bersama orangtuanya menyiramkan
bensin ke tubuh sang istri yang baru berusia 25 tahun dan tengah hamil tujuh
bulan. Saat kejadian itu, mereka membawa wanita itu ke India untuk pengobatan.
Saat itu mereka mengatakan bahwa wanita itu mengalami kecelakaan. Kondisi
wanita itu memburuk dan akhirnya keguguran. Sebuah kelompok pembela HAM Nepal
mengatakan membawa wanita itu ke sebuah rumah sakit di ibu kota Kathmandu dalam
kondisi kritis. Seluruh tubuh bagian bawah wanita itu penuh luka yang ditutup
kain perban.
Kejadian
ini terjadi pada bulan April. Namun baru dilaporkan ke kepolisian di distrik
Banke, Nepal Barat oleh Ayah korban pada Selasa, 5 Mei 2014 setelah mengetahui
kondisi kandungan putrinya mengalami keguguran akibat perlakuan buruk sang
suami. Saat ini, Sheikh dan keluarganya masih menjadi buronan polisi karena
dikabarkan menghilang.
Aksi
brutal ini dilakukan sebagai upaya Sheikh menuntut mahar berupa sebuah sepeda
motor dan seekor kerbau dari keluarga sang istri. Sang istri mengungkapkan
bahwa si suami kerap menyiksanya dan mengatakan dia tak memberi mahar. Sang
suami bahkan menyundut kemaluan istrinya menggunakan bara rokok. Di Nepal dan
India, sesuai tradisi, keluarga mempelai wanita memberikan mahar yang diminta
keluarga mempelai pria agar pernikahan bisa dilangsungkan. Meski pemerintah
kedua negara itu melarang praktik pemberian mahar yang sering kali menyulitkan
keluarga pihak wanita, tetapi tradisi ini masih terus dipraktikkan.
Dosa
Ganda
Kekerasan
dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga (Astuti, 2011). Sementara itu, Huzaemah (2014)
menjelaskan bahwa pelecehan dan kekerasan seksual merupakan suatu bentuk
penghinaan atau memandang rendah seseorang karena hal -hal yang berkenaan
dengan seks, jenis kelamin atau aktivitas seksual antara laki -laki dan
perempuan.
Dalam
kasus ini, Sheikh secara umum dikategorikan melakukan tindakan kekerasan dalam
rumah tangga yang dalam hal ini adalah dengan melakukan penyiraman bensin dan
juga melakukan pembakaran. Selain itu, secara khusus dia juga melakukan
pelecehan dan kekerasan seksual terhadap istrinya dengan menyundut alat kelamin
istrinya dengan bara rokok. Bahkan lebih lanjut dia juga melakukan tindakan
penipuan dengan mengatakan bahwa istrinya mengalami kecelakaan saat ditanya
oleh petugas kepolisian mengenai keberadaan istrinya yang dibawa ke India untuk
pengobatan.
Lebih
lanjut, kekerasan yang dialami sang istri tidak hanya dalam bentuk kekerasan
fisik dan seksual saja. Kekerasan yang dilakukan Sheikh sekaligus adalah
termasuk kekerasan psikis. Kekerasan psikis sendiri menurut UU Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) (dalam Astuti, 2011: 97) adalah perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Dalam kasus ini, sang istri tentu saja mengalami ketakutan yang
mendalam serta tidak mampu berbuat apa-apa karena disiram bensin oleh suaminya
bahkan juga dibantu oleh orang tua si suami. Tentu saja si korban tidak mampu
melawannya. Selain karena kalah dalam hal jumlah, kondisi pada waktu itu adalah
sedang mengandung bayi yang berumur tujuh bulan. Tekanan psikis tidak hanya
dialami si perempuan pada saat kejadian, kekerasan yang dialaminya tentu saja
akan menimbulkan rasa trauma dan juga malu pada kehidupan di kemudian hari yang
akan dijalani si perempuan.
Astuti
(2011:94) menjelaskan bahwa kekerasan perempuan merupakan produk sosial dan
sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan menomorsatukan kepentingan
dan perspektif laki-laki, sekaligus menganggap perempuan sebagai jenis kelamin
yang lebih rendah daripada laki-laki.
Pandangan
tersebut mengandung konsekuensi bahwa laki-laki Nepal maupun India bisa saja
memeras perempuan karena kebutuhannya berupa mahar pernikahan tidak dapat
dipenuhi oleh perempuan yang dinikahinya. Dalam hal ini, sebenarnya pernikahan
sudah terjadi, bahkan si perempuan sudah dalam kondisi hamil tujuh bulan. Namun
karena mahar belum dipenuhi, si suami merasa memiliki piutang pada istrinya.
Artinya, selama sang istri belum membayar hutangnya, selama itu pula ia dibawah
kendali laki-laki. Perempuan dikondisikan dalam keadaan tergantung dan merasa
berhutang budi pada suaminya. Sehingga akses
dan kontrolnya terbatasi dengan alasan hutang yang belum terbayar tersebut. Dengan
kondisi yang demikian itu, sang suami seolah-olah bisa melakukan apasaja,
dengan alasan belum terbayarnya hutang oleh si istri, termasuk melakukan
tindakan kekerasan yang dalam hal ini adalah berupa pembakaran.
Lebih
lanjut, Astuti (2011:94-95) juga mengungkapkan bahwa melebarnya pola-pola
kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuknya, harus dijelaskan melalui
konsep sosial; yakni bahwa struktur sosial yang memberikan hak-hak istimewa dan
mengutamakan dominasi laki-laki akan direspons dengan pandangan-pandangan yang
menganggap wajar sikap yang menomorsatukan kepentingan laki-laki dan
mengesampingkan dan merendahkan perempuan, termasuk respons melakukan dan
melestarikan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Sejalan
dengan hal tersebut, maka dalam hal ini laki-laki Nepal maupun India berhak
menuntut sang istri yang belum membayarkan mahar sesuai dengan keinginan sang
laki-laki. Dalam kasus ini, Sheikh, nama pria itu, menuntut mahar berupa kerbau
dan sepeda motor kepada keluarga sang istri. Sang suami merasa memiliki hak-hak
istimewa karena bisa menuntut mahar dari perempuan. Bagi masyarakat Nepal,
Mahar yang diajukan oleh suami sering kali menyulitkan keluarga sang istri.
Sistem
hukum di Nepal, juga India sesungguhnya mendukung dan memperkuat perbedaan
gender yang bisa berakibat pada ketidaksetaraan (inequality) gender. Mosse
(dalam Alimi, 2013) mencontohkan pada Bagian III konstitusi India yang
meletakkan hak-hak dasar tertentu. Setiap warga negara dijamin persamaannya di
depan hukum, diskriminasi dilarang. Tetapi konstitusi memuat sengat di ekornya
berkaitan dengan perempuan. Ini menjadi kebebasan beragama menurut pasal 25
yang berbunyi tunduk kepada tatanan umum, moralitas, dan kesehatan...semua
orang sama-sama memiliki hak kebebasan hati nurani dan hak menyatakan,
melaksanakan dan mendakwahkan agama secara bebas. Bagian konstitusi ini
mengandung makna bahwa perempuan Hindu, Islam, Parsi, Kristen, Yahudi, dan
Perempuan suku tunduk kepada hukum personal masing-masing komunitasnya. Hukum
personal merupakan kawasan yang amat mempengaruhi perempuan di Nepal juga India,
yang menyentuh masalah-masalah seperti hak atas kekayaan, pemeliharaan, perceraian,
pengangkatan anak, perwalian anak, dan poligami.
Dalam
hal ini, sebenarnya pemerintah kedua negara, baik pemerintah Nepal maupun
pemerintah India, sudah melarang praktik pemberian mahar yang sering kali
menyulitkan keluarga pihak wanita, tetapi tradisi ini masih terus dipraktikkan.
Karena konstitusi di kedua negara memang memberikan kebebasan untuk
melaksanakan hukum personal baik dalam agama, adat, tradisi maupun hukum-hukum
‘istimewa’ lainnya secara bebas. Sehingga ketika sang suami menuntut mahar dari
sang istri, pemerintah tidak bisa berbuat banyak dan juga secara otomatis pihak
perempuan juga akan merasa berhutang sehingga menimbulkan kondisi yang
tergantung dan terkendali pada suaminya sampai hutang dilunasi. Hal itu terus
terjadi karena aturan itu tercantum dalam hukum personal bagian pernikahan,
yang mengatur mengenai tradisi pemberian mahar oleh keluarga si perempuan
kepada keluarga si laki-laki sesuai permintaannya agar bisa melangsungkan
pernikahan.
Refleksi
Kekerasan
seksual seringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Dalam
kasus pelecehan seksual, yang sering terjadi, pelakunya tidak dapat dijerat
karena tidak mencukupi unsur kasus pencabulan atau perkosaan. Dalam kasus
pencabulan, perkosaan, atau pelecehan seksual lainnya biasanya menghendaki
adanya saksi hidup dalam peristiwa pelecehan tersebut untuk dapat diproses
secara hukum. Dalam hal ini, saya beranggapan bahwa pembuat kebijakan tidak
memperhatikan unsur kesesuaian logika berpikir riil dan juga unsur psikologis
si korban. Untuk dapat melaporkan saja, si korban membutuhkan keberanian yang
luar biasa, apalagi untuk memperjuangkan dalam menghadirkan saksi yang belum
tentu ada karena sangat dimungkinkan pelaku akan bertindak karena memang ada
peluang untuk melakukan pelecehan dengan si korban langsung, tanpa ada orang
lain. Hal ini perlu diatur lebih bijak agar hak atas keamanan dan ketentraman
baik laki-laki maupun perempuan bisa terjamin oleh negara.
Pelecehan
seksual dan perkosaan dapat menimbulkan efek trauma yang mendalam pada korban.
Korban pelecehan seksual dan perkosaan dapat mengalami stres akibat pengalaman
traumatis yang telah dialaminya. Pelecehan seksual terhadap perempuan termasuk
sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Oleh sebab itu, peran kita
adalah ikut memikirkan bagaimana meringankan beban yang ditanggung oleh korban
pelecehan seksual, dan ikut memikirkan bagaimana cara menekan jumlah kejadian
pelecehan seksual di masyarakat.
Penghapusan
kekerasan terhadap perempuan membutuhkan kerja bersama dan sinergi dari
berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak, baik aktivis HAM
perempuan, pemerintah, maupun masyarakat secara umum.
Pemerintah
sebaiknya tegas dalam hal hukum personal yang mengatur beberapa persoalan yang
penting terkait keberadaan laki-laki dan perempuan yang riskan menimbulkan
kesenjangan. Pemerintah Nepal, juga India sebaiknya membatasi dakwah atau
penerapan hukum personal yang dianut oleh warganya agar dilaksanakan secara
bijaksana. Selama ini, pemerintah masih membebaskan warganya untuk melaksanakan
hukum personal baik dalam agama, adat, maupun tradisi sesuai dengan keinginan
mereka. Hal ini tentu saja akan dimanfaatkan oleh oknum yang mengambil
kesempatan atau keuntungan pribadi maupun kelompoknya untuk memuluskan
kepentingannya. Apabila hal ini terus terjadi, pemerintah sebaiknya menggunakan
kekuatannya untuk menggunakan hukum negara sebagai satu-satunya hukum yang sah
bagi warga negaranya.
Masyarakat
sebaiknya mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan yang lebih
baik bagi para korban yang sudah mampu melampaui pengalaman kekerasan. Mengajak semua orang untuk turut terlibat
aktif sesuai dengan kapasitasnya dalam upaya penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan.
Sebagai
pelajaran, pelaku kekerasan baik terhadap perempuan maupun terhadap laki-laki sebaiknya
dihukum sesuai dengan perbuatan yang dilakukan dengan memperhatikan berbagai
aspek yang menimpa si korban. Karena kekerasan terhadap laki-laki atupun
perempuan tidak hanya terkait dengan isu gender namun juga merupakan isu
pelanggaran Hak Asasi Manusia. Artinya, hukuman harus dijatuhkan dengan tegas
kepada para pelanggar HAM agar tidak terus berlanjut karena lemahnya sanksi
yang diberikan.
Daftar
Pustaka
Alimi,
M. Yasir. 2013. Kompilasi Bacaan Sosiologi Gender (Buku Ajar).
Semarang:_____
Astuti,
T. M. P. 2011. Konstruksi Gender dalam
Realitas Sosial. Semarang: Unnes Press.
Hardoko,
Ervan. 2014. Mahar Belum Dibayar Pria
Nepal Bakar Istrinya yang Tengah Hamil. http://internasional.kompas.com/read/2014/05/06/1647446/Mahar.Belum.Dibayar.Pria.Nepal.Bakar.Istrinya.yang.Tengah.Hamil.
(Kamis, 08 Mei 2014 jam 02:00 WIB)
Huzaemah.
2014. Pelecehan Seksual dan Protes
Perempuan. http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/12/17/246515.
(Kamis, 08 Mei 2014 Pukul 01:53 WIB).
* = Mahasiswa semester 6 yang sedang menempuh mata kuliah Antropologi Gender